Sorakan Brimob di Sidang Kanjuruhan, Puncak Kegagalan Pengendali Massa Mengendalikan Diri Sendiri

- Advertisement -

Sekelompok anggota Brimob bersorak memberi dukungan kepada terdakwa perkara Kanjuruhan di PN Surabaya, Selasa (14/2/23). Beberapa dari mereka berteriak yel-yel khas mereka yakni “brigade!!”.

Sebenarnya ini salam yang biasa dalam kesatuan tersebut, karena tiap kesatuan tentunya punya salam atau yel-yel khas masing-masing yang digunakan untuk menambah kekompakan diantara mereka.

Menjadi luar biasa ketika yel tersebut diteriakan di pengadilan. Kenapa luar biasa? Karena pengadilan merupakan tempat sakral apalagi bagi hamba hukum termasuk aparat kepolisian. Maka sudah seharusnya setiap pihak menghargai pengadilan, termasuk tidak membuat keramaian. Apa jadinya jika setiap terdakwa atau pihak yang berperkara di persidangan membawa pendukung yang membuat kegaduhan? Misal ketika saksi atau korban dari Aremania bersaksi dan ada sekelompok Aremania lain menyanyikan yel-yel di pengadilan, apa ruang pengadilan tidak berubah menjadi ruang dengan keriuhan seperti pasar atau bahkan terminal?

Kedua, kehadiran mereka di persidangan kemarin harus jelas sebagai apa? Jika sebagai petugas keamanan, maka tidak tepat jika mereka memberi dukungan kepada salah satu pihak yang berperkara. Petugas keamanan harus berdiri di tengah, bukan di salah satu pihak. Jika kehadiran mereka sebagai pendukung pihak yang berperkara, apakah tepat jika mereka menggunakan seragam lapangan Brimob ke pengadilan? Sedangkan rekan Bharada E yang hadir memberi dukungan saja berpakaian baju letting (angkatan) mereka, karena memang tindakan tersebut merupakan tindakan diluar dinas.

Apalagi jika mengingat majelis hakim yang menangani perkara Kanjuruhan sudah sejak awal meminta pengunjung persidangan “dibatasi” dan bahkan petugas keamanan maupun “masyarakat” Surabaya melarang kehadiran Aremania dengan alasan agar situasi tetap kondusif. Harusnya mereka juga bertindak dengan kelakuan segelintir anggota Brimob kemarin, atau memang sengaja membatasi hanya dari pihak korban? Sedang pihak terdakwa bebas menghadirkan pendukung, termasuk yang membuat keriuhan di persidangan.

Ketiga, kejadian ini menunjukkan kegagalan mereka mengendalikan massa, yang ironisnya merupakan salah satu tugas utama mereka. Kegagalan mengendalikan massa ini seringkali menjadi awal terjadinya Police Abuse. Mereka yang bertugas mengendalikan massa, justru menjadi massa yang tidak terkendali seiring ekskalasi yang mereka hadapi.

Misal polisi pengaman demo yang menjadi tak terkendali ketika menghadapi massa pendemo, tentunya berpotensi menimbulkan masalah baru baik di polisi yang mengamankan maupun di masyarakat yang mereka amankan. Hal ini tentunya tidak boleh terjadi terhadap personel yang (seharusnya) sudah terlatih bahkan terdidik dalam lembaga pendidikan kedinasan.

Kejadian di PN Surabaya kemarin harus menjadi catatan serius baik dari PN Surabaya dalam menscreening mereka yang hadir di lingkungan Pengadilan (sesuai keinginan majelis hakim) maupun bagi institusi kepolisian dalam mengendalikan anggotanya.

Polisi yang dapat dikendalikan institusinya, akan menjadi polisi yang profesional dan netral bahkan humanis. Sebuah situasi kepolisian yang pastinya menjadi idaman masyarakat.

Ditulis oleh: Andreas Lucky Lukwira

Peneliti suporter Indonesia

Subscribe channel Youtube kami, ikuti kami di Instagram dan gabunglah bersama kami di Facebook untuk menjadi bagian dari komunitas Arema dan Aremania.

Artikel Lainnya