Yuli Sumpil dan Segala Kisah Hidupnya

- Advertisement -

Yuli Sugianto atau yang akrab disapa Yuli Sumpil dan status sebagai dirigen Aremania tak bisa dipisahkan. Pria yang hari ini (14/7/2020) genap berusia 44 tahun itu dipanggil demikian sesuai dengan tempat kelahirannya, Jalan Sumpil Gang I, RT.3/RW.4 Kelurahan Purwantoro, Kecamatan Blimbing, Kota Malang.

Aremania kelahiran Malang, 14 Juli 1976 itu kerap berpenampilan nyentrik, yang sudah lama menjadi ciri khasnya. Mulai dari topi yang tak pernah lepas dari kepalanya, tindikan di kedua telinganya, serta kaus dan jaket Aremania yang selalu melekat di tubuhnya menjadi pemandangan wajar di tiap penampilannya. Menurutnya, atribut itu membuatnya makin semangat kala mendukung Arema di stadion atau pun dalam kehidupan sehari-hari.

Banyak fakta menarik tentang kisah perjalanan hidupnya, dari masa kecil, kehidupan keluarga, kebanggaannya sebagai Aremania, hingga kisah cintanya yang dirangkum Ngalam.co dari berbagai sumber. Sebagai Aremania, sangat disayangkan jika kita tak mengenali lebih dekat sosok dirigen yang satu ini.

Yuli Sumpil dan Kisahnya Menjadi Aremania Sejak Kecil

Sejak masih di bangku kelas 5 Sekolah Dasar, Yuli sudah menjadi sosok Aremania. Dirinya selalu hadir di stadion untuk mendukung Arema yang kala itu masih berkompetisi di Galatama.

Saat diminta menceritakan kembali masa lalunya, Yuli pun bercerita tentang trik ‘nakal’-nya jika ingin nonton Arema tanpa mengeluarkan uang sepeser pun untuk membeli tiket. Dia tetap datang ke Stadion Gajayana Kota Malang, kandang Arema kala itu, dan mengekor penonton dewasa yang bertiket saat masuk ke stadion. Hal demikian dilakoninya hingga SMP.

Ketika beranjak remaja, Yuli semakin berani dan bersemangat. Perlahan tapi pasti dia tumbuh menjadi sosok suporter sebenarnya. Dia rela ngamen di jalanan atau menjualkan kue dagangan ibunya, agar dapat uang untuk membeli tiket. Yang penting baginya bisa mendukung Arema dengan tanpa gratisan lagi seperti masa kecilnya dulu.

Yuli berkisah sudah sejak remaja dia selalu berusaha melakukan apa saja demi mendukung Arema berlaga. Bahkan kala laga tandang, dia bersiap sejak pagi, menunggu truk di pinggir jalan raya. Begitu ada truk atau mobil angkutan barang lainnya yang mau mengangkutnya, Yuli langsung melompat ke dalam bak mobil menuju kota tujuan.

Menjadi Dirigen Aremania

Seorang dirigen, layaknya seorang konduktor dalam pertunjukan orkestra, adalah orang yang memimpin para suporter untuk menyanyi dan menari dalam sebuah pertandingan sepakbola. Lagu apa yang harus dinyanyikan dan gerakan tubuh macam apa yang mesti dilakukan semua keputusan ada di tangan dirigen. Semakin kreatif sang dirigen, maka semakin atraktif lah gerakan para Aremania yang mengikutinya.

Di era Ligina saat Arema masih bermain di Stadion Gajayana, Aremania punya dua dirigen. Selain Yuli juga ada sosok Yosep, yang biasa dipanggil El Kepet.

Menurut pendapat mayoritas Aremania, seseorang dipilih menjadi dirigen karena penampilannya yang menarik, ceria, dan nyentrik, dan lain-lain. Seorang dirigen juga wajib memiliki kemampuannya berkomunikasi dengan suporter lain, dan yang tak kalah pentingnya adalah kemampuan membangkitkan semangat suporter untuk terus memotivasi tim yang didukung.

Di kalangan Aremania, memilih dirigen tak serumit Pilkada. Tak ada pemungutan suara yang berlangsung dengan ketat seperti Pilpres. Penunjukan sosok dirigen di kalangan suporter biasanya dengan cara yang sulit dijelaskan, semuanya hampir kebetulan saja, sebelum sebuah pertandingan sepakbola dimainkan. Namun begitu seorang dirigen terpilih, jabatan itu akan disandangnya terus, tanpa batas waktu yang jelas, sampai ia mengundurkan diri atau kehilangan kharisma dan kemampuan untuk memimpin.

Begitulah, lebih dari tujuh tahun lalu Yuli dan Kepet terpilih begitu saja sebagai dirigen Aremania. Hanya kepada mereka berdualah Aremania seisi stadion mau ‘tunduk’.

“Mungkin saya dipilih karena berambut gondrong dan suka menari sambil memanjat pagar pembatas lapangan. Kalau Kepet mungkin karena ia punya banyak teman. Ia kan tinggal dekat stadion,” kata Yuli dalam sebuah kesempatan wawancara dengan media lokal.

Di Stadion Gajayana Malang, markas Arema, Yuli dan Kepet mesti berbagi wilayah kekuasaan. Wilayah kekuasaan Yuli adalah tribun bagian timur, tepat di bawah papan skor. Wilayah Kepet adalah tribun bagian selatan. Sementara tribun VIP dibiarkan tanpa dirigen.

Saat Arema pindah homebase ke Stadion Kanjuruhan, Yuli pun ikut pindah singgasana ke stadion tersebut, meski jarak yang ditempuh dari rumahnya praktis lebih jauh dari biasanya. Dia tetap mengambil posisi di bawah papan skor. Sementara itu El Kepet tak ikut karena telah mengundurkan diri sebelumnya.

Tulang Punggung Keluarga

Yuli adalah pemuda dari keluarga kurang mampu yang tinggal di sebuah kampung di bagian timur Kota Malang. Sebelum menjadi dirigen Aremania, sejak lulus dari Madarasah Aliyah Al Amin, Blimbing, Yuli bekerja sebagai pencuci mikrolet, angkutan umum dalam kota. Dia bekerja mulai pukul 16.00 sore hingga pukul 12.00 malam. Dari pekerjaannya tersebut, Yuli bisa mendapatkan 10 ribu hingga 15 ribu rupiah per hari.

Sejak menjadi dirigen, Yuli praktis berhenti bekerja. Menurutnya pilihan ini adalah saran orangtuanya yang tak tahan melihat Yuli menghabiskan hampir semua waktunya untuk mengurusi sepakbola, sepakbola, dan sepakbola.

Kala itu Yuli menggantungkan hidupnya pada kedua orangtua. Bapaknya, Asip, adalah seorang tukang kayu panggilan. Semenntara ibunya, Juwariyah, berpenghasilan dengan menjual makanan rumahan bikinannya ke warung-warung di sekitar kampungnya. Yuli mengatakan kala itu setiap hari mendapat uang saku antara 500 hingga 2.000 rupiah dari bapak atau ibunya.

Suatu ketika Yuli akhirnya tersadar bahwa dia tak bisa terus-terusan bergantung pada kedua orang tuanya. Dia sempat membuka bisnis kecil-kecilan. Mulai dari jualan air mineral hingga jadi calo tiket pernah dilakoninya demi mendapatkan uang untuk sekedar membantu Bapak dan Ibunya. Apalagi sejak 2011 lalu dia ditinggal oleh sang Bapak menghadap Illahi, Yuli berupaya memberikan yang terbaik untuk ibunya.

Kadang-kadang Yuli juga membantu menjual tiket pertandingan. Sehari sebelum pertandingan Yuli akan mengambil tiket di Kantor Arema. Untuk tiap tiket seharga sepuluh ribu rupiah yang bisa dijualnya, Yuli mendapat bagian sepuluh persen atau seribu rupiah. Agar bisa nonton pertandingan sekurang-kurangnya Yuli harus bisa menjual sepuluh tiket. Selebihnya kadang diberikan untuk ibunya.

Pernah Jadi Bintang Film

Kiprahnya sebagai seorang dirigen sempat membuat seorang insan perfilman tertarik untuk mengangkatnya dalam sebuah film. Akhirnya dibuatlah sebuah film dokumenter berjudul ‘The Conductors’ yang digarap oleh Andi Bachtiar Yusuf.

The Conductors berusaha untuk mengungkap sisi lain dari Addie MS (Twilite Orchestra), AG Sudibyo (Paduan Suara Mahasiswa Universitas Indonesia) dan Yuli Sumpil (Aremania). Menampilkan kiat dan semangat dari anak manusia yang sangat mencintai profesinya tersebut.

Film yang telah diputar pada ajang Jakarta International Film Festival (JiFFest) 2007 lalu tersebut merupakan karya dokumenter kedua pria yang lebih akrab dipanggil “Ucup” setelah The Jak (2007). Setelah premiere di Jakarta, film tersebut juga diputar di Bandung, Malang, Semarang, Yogyakarta, Jember, Purwokerto, bahkan sampai Pusan (Korea Selatan).

“Cita-cita saya, pagar besi pembatas tribun dengan lapangan nanti tidak perlu ada lagi. Jadi kita menonton sepakbola dengan enak, tidak ada perkelahian, tidak ada suporter yang mengganggu pemain. Saya juga ingin semua golongan bisa bersatu di sini. Kaya atau miskin, laki-laki atau perempuan, Cina atau bukan Cina, pejabat atau orang biasa, Islam atau Kristen, di sini semuanya bisa sama, kata Yuli tentang harapannya untuk Aremania ke depannya.

Punya Koleksi Atribut Aremania

Yuli punya cukup banyak koleksi asesoris dan atribut Aremania. Yuli punya macam-macam kaus Arema. Dari kaus seperti yang dipakai para pemain alias jersey, warna biru putih, sampai kaus-kaus bergambar kepala singa dan logo Arema. Kebanyakan kaus macam ini bertuliskan “Kera Ngalam” atau “Ongis Nade”. Frase-frase tersebut memang sangat akrab di mata dan telinga para Aremania.

“Saya biasanya pakai kaus Arema, tapi bawahannya bisa ganti-ganti, yang penting warna dan modelnya mencolok,” kata Yuli.

Selain kaus dan hem, Yuli juga punya koleksi pakaian ala suporter lainnya. Ada yang berbahan kulit sintetis hingga kain sarung dan kain perca. Hampir semua pakaian ini dirancang sendiri oleh Yuli. Biasanya dia mendapat ide model-model pakaian baru setelah menonton pertandingan sepakbola Liga Italia atau Liga Inggris di televisi.

Jika Liga Indonesia sedang bergulir, itu artinya setiap minggu hampir selalu ada pertandingan sepakbola dan Yuli pun harus menyisihkan sedikit jatah uang rokoknya agar bisa membeli tiket dan masuk stadion. Tetapi kalau kondisi keuangan keluarganya yang benar-benar sulit, Yuli kadang terpaksa sampai menjual asesoris dan atribut suporternya untuk bisa membeli tiket. Tak jarang dia harus merelakan kaus atau syal kesayangannya dengan harga 10 hingga 20 ribu rupiah kala itu.

“Sebenarnya sedih juga, karena barang-barang itu punya nilai sejarah bagi saya. Tapi saya akan lebih sedih lagi kalau tidak bisa masuk ke stadion dan menjadi dirigen bagi teman-teman,” katanya.

Rivalitas dengan Pendukung Persebaya

Seperti kebanyakan pemuda kota yang tinggal di kampung padat dan miskin, Yuli gemar sepakbola dan sering terlibat tawuran (perkelahian massal) antarkampung. Kala itu kelompok suporter di Malang sebelum ada Aremania adalah kelompok gank-gank yang selalu rusuh di tiap usai pertandingan, apapun hasil di lapangan.

“Buat saya dulu tawuran adalah bagian dari sepakbola. Sepakbola nggak ada tawuran seperti sepakbola banci,” kata Yuli.

Soal rivalitas antara Aremania dan Bonek, Yuli tak hanya sekali dua kali terlibat langsung di dalamnya. Tak terhitung jumlahnya Yuli berada dalam satu medan tempur kala Aremania diserang oleh oknum berseragam hijau-hijau tersebut. Bagi Yuli, itu adalah sebuah pembelajaran bagaimana jadi sosok suporter yang tak mau mencari musuh, namun ketika ketemu musuh tak lari. Tak heran, karena Aremania pun punya prinsip Daboribo, alias Damai Boleh Ribut pun Boleh.

Satu di antara kisah dramatisnya bertempur melawan Bonek dalam rangka membela diri, adalah ketika beberapa tahun lalu, sebelum menjadi dirigen, bersama 30 orang Aremania lainnya Yuli datang ke Jakarta untuk melihat Arema bertanding. Dia berangkat dari rumah dengan menyiapkan sebilah pedang.

“Waktu itu, ini perlengkapan standar,” kata Yuli sambil mengenang.

Di Jakarta ia terlibat bentrokan dengan kelompok Bonek di depan Stasiun Pasar Senen. Mula-mula hanya saling melempar batu, tapi kemudian menjadi saling kejar, memukul dengan potongan kayu atau besi, bahkan hingga sabetan pedang.

“Yang saya ingat, keesokan harinya saya baca di koran ternyata ada 3 orang Bonek yang mati. Sementara kami semua selamat,” kata Yuli mengisahkan.

Yuli kini ingin melupakan masa lalunya. Dia sadar tak selamanya suporter harus seperti itu. Suporter itu mendukung tim kebanggaannya, bukan bertindak anarkis, perkecualian untuk membela diri ketika diserang duluan.

Di ruang tamu rumahnya yang sempit, ia memasang fotonya ketika bersalaman dengan mantan Ketua PSSI, Agum Gumelar. Di foto itu, Yuli yang masih berambut gondrong berkaus Arema warna biru, tampak tersenyum bangga.

“Saya diundang di acara pembukaan Liga Indonesia dan dikirimi tiket pesawat untuk hadir mewakili suporter,” tuturnya.

Sempat Batal Tunangan Karena Arema

Di sebuah blog milik seorang Aremanita dia juga pernah mengungkapkan bahwa dia punya mantan sebanyak 78 orang. Entah itu benar atau tidak, yang jelas Yuli mengaku dirinya bukan playboy.

Dalam sebuah penampilannya di acara Kick Andy Metro TV dia pernah mengungkap satu dari sekian banyak kisah percintaannya dengan wanita yang pernah dipacarinya. Kisah tersebut terjadi di pertengahan tahun 2010, tepatnya saat detik-detik Arema mengunci gelar juara Indonesia Super League (ISL) 2009-2010. Saat itu Yuli mengaku akan bertunangan dengan seorang wanita pujaannya.

Kala itu 26 Mei 2010, Arema harus bertandang ke markas PSPS Pekanbaru untuk menentukan status juara yang selangkah lagi dalam genggaman. Arema hanya butuh satu poin saja dari hasil imbang maka juara ISL 2009-2010 dipastikan dibawa pulang ke Malang.

Tak mau melewatkan momentum berharga tersebut, Yuli pun berniat ikut away tour ke Pekanbaru bersama sejumlah Aremania lainnya. Namun apa mau dikata, sang dirigen tak punya cukup biaya untuk sekedar membeli tiket bus menuju ke sana. Yuli pun teringat pada cincin tunangan yang akan diberikan pada kekasihnya. Demi cintanya pada Arema akhirnya dia gadaikan cincin tersebut dan uangnya dipakai untuk ongkos tour ke Pekanbaru.

“Setelah kejadian itu dia mutusin saya. Kami tak jadi bertunangan,” komentar Yuli sambil tertawa kecil ketika ditanya oleh Andy sang presenter mengenai kelanjutan nasib pertunangannya kala itu.

Kendati demikian, Yuli sangat senang dan bangga karena menjadi saksi penentuan juara secara langsung di hadapan kedua matanya. Kebetulan pada waktu itu laga antara PSPS vs Arema tak disiarkan oleh antv yang memiliki hak siar ISL.

 

Subscribe channel Youtube kami, ikuti kami di Instagram dan gabunglah bersama kami di Facebook untuk menjadi bagian dari komunitas Arema dan Aremania.

Subscribe channel Youtube kami, ikuti kami di Instagram dan gabunglah bersama kami di Facebook untuk menjadi bagian dari komunitas Arema dan Aremania.

Artikel Lainnya