Ada lima terminal lawas di Kota Malang yang dulu sempat berjaya pada masa penjajahan Hindia-Belanda hingga pasca Indonesia merdeka. Namun, terminal-terminal itu kini sudah tinggal kenangan.
Generasi milenial di Kota Malang mungkin hanya tahu ada tiga terminal utama, yakni Terminal Arjosari, Terminal Landungsari, dan Terminal Hamid Rusdi yang masih aktif hingga kini. Jauh sebelum ada terminal-terminal itu, Kota Malang punya empat terminal lawas.
Ada banyak fakto yang akhirnya membuat empat terminal lama itu kemudian tergusur dan tak lagi difungsikan. Kini, keempat terminal itu tak lagi menjadi tempat naik-nurunnya penumpang bus dan angkutan kota (angkot).
Inilah 4 Terminal Lawas di Kota Malang yang Kini Tinggal Kenangan
1. Terminal Pecinan
Terminal Pecinan merupakan terminal pertama yang dibangun di Kota Malang oleh Pemerintah Hindia-Belanda. Berdasarkan catatan sejarahnya, terminal itu dibangun pada tahun 1920 sampai dengan tahun 1924, bersamaan dengan dibangunnya Pasar Besar Kota Malang di sebelah baratnya.
Bisa ditebak, sama seperti namanya, Terminal Pecinan itu berada di kawasan Pecinan (PetjinanStraat) sekarang, atau di sekitar Klenteng Eng An Kiong.
Pada masa jayanya, Terminal Pecinan melayani berbagai moda transportasi massa. Mulai dari dokar, oplet, bemo, Ford Beauty 1928, Essex Super Six Cylinder, hingga Bus Chevrolet 1948. Trayeknya pun beragam, mulai dari jarak dekat hingga ke segala rute di Jawa Timur ada.
Pemerintah Kota Malang menonaktifkan terminal ini sekitar tahun 1950. Alasannya, kondisi terminal yang sudah tidak layak pakai lagi lantaran tidak dapat menampung dengan baik jumlah kendaraan umum dan penumpang setiap harinya.
2. Terminal Sawahan
Sebagai solusi sekaligus pengganti dinonaktifkannya Terminal Pecinan, Pemkot Malang membangun Terminal Sawahan. Lokasinya lebih ke selatan lagi, tepatnya ada di pojokan jalan antara Jalan Yulius Usman (TonganStraat) dan Jalan Sulawesi (Celebes weg).
Pemkot Malang menilai saat itu lokasi terminal baru ini lebih strategis karena berada di sebelah barat Pasar Besar Kota Malang dan sebelah utara Stasiun Jagalan. Lokasinya saat itu dianggap sebagai salah satu titik nadi perekonomian di Kota Malang.
Lambat laun, terjadi situasi yang carut-marut di sekitar area Terminal Sawahan. Penyebabnya lantaran banyak penumpang yang memilih untuk naik-turun angkutan umum di luar area terminal. Hal itu pun memaksa para supir untuk ikut mangkal di luar terminal untuk menunggu penumpang.
Kemacetan yang menjadi dampak nyata carut-marut itu memaksa Pemkot Malang bertindak dengan menonaktifkan Terminal Sawahan pada tahun 1977. Saat ini, bekas terminal itu sebagian beralih fungsi menjadi SPBU Sawahan.
3. Terminal Pattimura
Lokasi Terminal Sawahan lawas kemudian dipindahkan dua kilometer ke arah utara. Namanya pun berubah menjadi Terminal Pattimura yang berada di Jalan Pattimura, sebelah barat perempatan Klojen. Terminal ini mulai dioperasikan pada tahun 1977. Lokasinya juga strategis di sisi utara Stasiun Malang.
Terminal yang berukuran lebih besar dari terminal lawas ini diharapkan bisa menjadi solusi permasalahan sebelumnya. Terlebih ruas jalan di kawasan Klojen ini terbilang lebih besar ketimbang di Sawahan. Namun permasalahan klasik di terminal lama tak kunjung selesai.
Terminal ini hanya bertahan selama 12 tahun sebelum akhirnya dinonaktifkan Pemkot Malang pada tahun 1988. Sekarang ini bekas terminal tersebut bisa dilihat sudah menjadi kompleks ruko, meski masih banyak loket perusahaan otobus (PO) yang melayani pembelian tiket bus malam.
4. Terminal Dinoyo
Mulai tahun 1988, Pemkot Malang mulai melakukan rekayasa pengaturan angkutan umum yang tadinya di pusat kota menjadi ke pinggiran kota. Mereka pun membangun tiga terminal baru, salah satunya Terminal Dinoyo yang melayani perjalanan angkutan umum ke arah barat, seperti Kediri, Jombang, dan Tuban.
Lokasi Terminal Dinoyo ini dulunya berada di kawasan Pasar Dinoyo sekarang ini. Terminal ini mulai beroperasi sekitar tahun 1988. Namun, tak lama kemudian, Pemkot Malang menonaktifkannya pada tahun 1991, lantaran terminal direlokasi ke sebelah barat, yang kini dikenal sebagai Terminal Landungsari.
5. Terminal Gadang
Terminal Gadang dibangun bersamaan dengan Terminal Arjosari, yakni pada tahun 1988. Lokasinya yang berada di ujung selatan Jalan Kolonel Sugiono membuat terminal ini difungsikan untuk melayani perjalanan ke arah Dampit, Kepanjen, Blitar, dan lain-lain.
Sejak tahun 2009, Pemkot Malang menonaktifkan terminal ini. Seluruh aktivitas naik-turunnya penumpang dipindahkan ke Terminal Hamid Rusdi yang bangunannya berada sekitar 1 kilometer di sebelah timur terminal lawas. Namun, kini terminal anyar itu pun seperti bangunan terbengkalai.
Menikmati Libur Lebaran, Warga Malang Raya Punya Tradisi Berwisata Ramai-ramai ke Pantai Selatan
Warga Malang Raya punya tradisi berwisata ramai-ramai ke pantai selatan. Tradisi itu biasanya dilakukan untuk menikmati libur Lebaran atau Hari Raya Idul Fitri bersama keluarga besar.
Tak heran di Malang Raya ada tradisi seperti ini, mengingat kawasan ini memiliki puluhan pantai di pesisiri selatan yang terbentang dari timur ke barat. Karenanya, banyak pilihan destinasi wisata pantai untuk berlibur.
Mulai dari pantai yang sudah punya nama besar seperti Sendang Biru, Balekambang, Ngliyep, hingga pantai yang tergolong masih perawan, seperti Jonggring Saloka, Sendiki, Ngantep, dan lain-lain. Menghabiskan waktu libur lebaran di salah satu objek wisata pantai ini tentu menjadi opsi menarik.
Kegiatan berlibur lebaran ke pantai selatan ini biasa dilakukan warga Malang Raya mulai hari kedua Idul Fitri. Setelah menjalankan aktivitas bermaaf-maafan dengan keluarga besar, dan para tetangga, mereka umumnya berbondong-bondong ke pantai untuk sekadar melepas penat.
Biasanya, kebanyakan dari warga membawa serta rombongan keluarga besar. Mulai dari yang muda hingga yang paling tua tak mau ketinggalan. Kadang ada pula rombongan yang terdiri dari para tetangga se-RT, teman kerja, kawan sekolah, atau kumpulan ibu-ibu arisan.
Ada yang menggunakan kendaraan roda dua, berboncengan layaknya konvoi suporter sepak bola Malang, atau dikenal dengan sebutan Aremania. Ada pula yang memakai kendaraan roda empat, mengingat jumlah keluarga yang banyak.
Bahkan, tak jarang yang pergi ke pantai selatan menggunakan kendaraan bak terbuka seperti pikap atau truk pengangkut pasir. Yang punya modal lebih biasanya memilih menyewa kendaraan roda empat yang lebih layak mengangkut rombongan besar.
Biasanya, para kaum wanita bangun pagi-pagi sekali untuk menyiapkan perbekalan. Mereka membawa nasi, sayur, lauk, dan tak lupa kerupuk sebagai bahan logistik untuk disantap di pantai tujuan. Air putih dan es sirup tak ketinggalan pula dibawa bersama cemilan untuk dimakan selama perjalanan.
Buat rombongan yang malas menyiapkan bekal, jangan khawatir, karena di lokasi pantai-pantai Malang Selatan sudah tersedia banyak tempat wisata kuliner. Warung-warung yang umumnya menyediakan aneka masakan rumahan yang didominasi seefood siap melayani.
Tak jarang keluarga besar yang mukbang ikan laut bakar di warung-warung yang lokasinya tepat di pinggir laut. Berbagai jenis ikan bisa dipilih sesuai selera sesuai dengan menu yang disediakan oleh pemilik warung yang kebanyakan juga berprofesi sebagai nelayan tersebut.