Pada 21 Januari 2006 Indonesia kehilangan putra terbaiknya, Rudini. Jenderal bintang empat itu wafat dalam usia 77 tahun karena serangan jantung dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta. Jika melihat perjuangannya meraih puncak karier, baik di dunia militer hingga pemerintahan, rasanya tak sependek namanya.
Jenderal (purn) Rudini yang meninggalkan satu orang istri dan tiga orang anak, lahir di Malang, 15 Desember 1929. Mantan Menteri Dalam Negeri di era Orde Baru itu mengenyam pendidikan dasar hingga SMA di Bumi Arema. Ketekunannya dalam belajar membawanya meraih kesempatan untuk masuk Akademi Militer Breda di Belanda pada tahun 1951. Begitu lulus pada tahun 1955, Rudini kembali ke Indonesia dan dilantik menjadi perwira remaja dengan pangkat Letnan II. Selanjutnya, putra dari pasangan pasangan R. Ismangun Puspohandoyo dan Kusbandiyah ini menempuk pendidikan berikutnya, yaitu Suski, Bandung (1961), Para, Bandung (1964), Jump Master, Bandung (1966), Suspala, Bandung (1967), Seskoad, Bandung (1970), International Defence Management Course, AS (1973), dan Lemhanas, Jakarta (1977).
Mengomandani pasukan bukan masalah sulit baginya. Terbukti, Rudini pernah menjalani karier sebagai Danton sampai Danki di Batalyon 518/Brawidjaja. Ketika terjadi peristiwa pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), Rudini menjadi pelatih taruna di AMN. Selepas jadi Danyon 401/Banteng Raiders (sekarang Yonif 400/Raiders) pada tahun 1967 dan Dan Brigif 18/Linud pada tahun 1972, Rudini akhirnya mendapat bintang satu, menyusul tongkat Panglima Komando Tempur Lintas Udara diserahkan kepadanya tahun 1975. Selanjutnya, ia menjadi Kepala Staf Kostrad pada tahun 1977, lalu menjadi Panglima Kodam XIII/Merdeka setahun berselang. Pada tahun 1981, Rudini dilantik menjadi Panglima Kostrad, lalu dipilih sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (1983-1986) sebagai puncak karier kemiliterannya.
Nama Rudini kemudian terpilih sebagai Menteri Dalam Negeri (Mendagri) di 10 tahun terakhir periode kejayaan Orde Baru-nya Presiden Suharto. Rudini menjabat dalam Kabinet Pembangunan V mulai tahun 1988 hingga 1993. Tak layaknya pejabat Orde Baru lainnya, Jenderal Rudini bisa dibilang terbebas dari hujatan pada awal masa reformasi. Menariknya, Rudini malah dipercaya sebagai Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) era 1999-2001. Ia pun memimpin penyelenggaraan Pemilu (Pemilihan Umum) pada 7 Juni 1999. Tanggung Jawabnya kala itu cukup berat memimpin 52 anggota KPU menyelenggarakan Pemilu dengan kontestan 48 partai politik yang pertama setelah 44 tahun.
Banyak bintang penghargaan yang telah diterimanya. Mulai dari Bintang Mahaputra, Satya Lencana Operasi Militer V, Bintang Lencana Santi Dharma, Bintang Lencana Seroja, Bintang Lencana Unicef, Bintang Lencana Kesetiaan 8 Tahun, Bintang Lencana Kesetiaan 16 tahun, hingga Bintang Lencana Kesetiaan 24 tahun.
Jasa dan pengabdiannya pada Ibu Pertiwi tak sebanding dengan namanya yang cukup singkat. Mungkin, gelar pahlawan sudah layak disandangnya. Sayang, belum ada wacana untuk mengabadikan namanya menjadi salah satu jalan di Malang, kota yang membesarkannya sebelum benar-benar menjadi orang besar.
Pria yang sempat tercatat sebagai anggota Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) itu menghembuskan napas terakhirnya di suatu Sabtu malam, sekitar pukul 23.00 WIB akibat serangan jantung. Selamat jalan, Jenderal!