Surat merupakan salah satu alat komunikasi penting yang juga turut membantu perjuangan pasukan Mayor Hamid Rusdi dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia di Malang. Namun, yang unik mereka memakai surat pantat untuk berkomunikasi.
Kisah itu terjadi saat Hamid Rusdi berjuang bersama-sama dalam Gerakan Rakyat Kota (GRK) di Malang. Mereka menggunakan surat pantat sebagai sarana berkomunikasi antar anggota pasukan pejuang.
Cerita tentang surat pantat ini dikisahkan oleh Jenderal (Purn) Soemitro dalam buku Perjuangan Total Brigade IV. Sejak agresi militer Belanda II, hampir seluruh kota di Pulau Jawa berhasil dikuasai penjajah.
Kota Malang bahkan sudah diduduki Belanda sejak agresi militer I, hingga kemudian terbentuklah garis demarkasi sebagai batas yang ditentukan dari daerah Pakisaji. Pertahanan pasukan Hamid Rusdi yang semula berada di Turen, terpaksa dipindahkan ke wilayah Malang Timur gara-gara keadaan yang tidak memungkinkan.
Sebelumnya, Hamid Rusdi sudah mengutus Carik Prawirohardjo di Tawangrejeni lewat surat perintah yang dikirimnya melalui anak buahnya. Hamid Rusdi ingin agar istrinya yang ketika itu tinggal di daerah Tawangrejeni diungsikan.
Daerah pendudukan Belanda pada masa agresi militer I, sebagaimana diketahui semakin luas setelah ditandatanganinya Perjanjian Renville. Hal tersebut diperparah dengan adanya pemberontakan yang dilakukan oleh FDR/PKI. Situasi ini dimanfaatkan Belanda untuk menghancurkan Republik Indonesia.
Untuk melaksanakan Perintah Siasat No. 1, pada 20 Desember 1948 Brigade IV Untung Suropati dengan semua kesatuan bawahannya ditugaskan untuk mengutamakan pertahanan Kota Malang, Bangil, Pasuruan, Turen dan Lumajang. Namun, pertahanan pasukan Hamid Rusdi di Turen sudah tidak memungkinkan lagi, karena persenjataan mereka minim.
Karenanya, serangan dilakukan dengan pasukan infantri pada malam hari dengan menerapkan siasat perang gerilya. Basis gerilya pun dibagi menjadi beberapa kompi untuk dapat mengembangkan gerakan pasukan dengan mantap. Mereka juga ditugaskan untuk melakukan penyusupan ke daerah-daerah yang diduduki musuh.
Kompi I yang dipimpin Sulam Samsun bertanggung jawab atas daerah Malang Barat dengan basis gerilya di Desa Petungsewu, Sumberbendo, Kucur, Sengon, dan Bedalisodo. Sementara, Kompi II yang dipimpin Soemitro memegang daerah Malang Tenggara dengan basis-basis gerilya daerah Garotan dan sekitarnya.
Lalu, Kompi III yang dipimpin Kusno Hadiwinoto di daerah Malang Timur dengan basis gerilya daerah Tajinan dan sekitarnya. Sedangkan Kompi IV dipimpin Soejono di daerah Malang Timur Laut dengan basis gerilya daerah Nongkojajar dan sekitarnya. Khusus Komando Batalyon I sebagai pemegang komando SWK I (Sub Werhkreise I) yang dipimpin Hamid Rusdi bergerak mobile.
Untuk berkomunikasi dan mengirimkan perintah, Hamid Rusdi menggunakan sistem surat pantat. Seperti namanya, surat-surat yang sifatnya penting, didistriusikan dengan cara dimasukkan dalam pantat si kurir atau utusan. Hal itu harus dilakukan untuk menghindari penggeledahan yang biasa dilakukan oleh pasukan Belanda. Jika cuma diselipkan di kantong baju atau celana, dikhawatirkan surat-surat perintah itu mudah terdeteksi Belanda yang melakukan penggeledahan.
Surat Pantat Diemban Kurir Perempuan
Biasanya kaum perempuan kerap dijadikan kurir atau utusan dalam sistem komunikasi ini. Kurir itu umumnya akan menyamar sebagai seorang pedagang atau bergaya seperti perempuan yang hendak ke pasar. Perempuan dipilih karena biasanya mereka lebih mudah berkelit dan lepas dari perhatian Belanda.
Untuk menyampaikan surat pantat ini, para pejuang di Malang juga menerapkan sistem estafet. Cara ini dilakukan Hamid Rusdi untuk menjaga eksistensi hubungan antar pasukannya. Maksudnya, ketika ada surat perintah, surat tersebut disampaikan dengan mengantarnya dari pos satu ke pos lainya, hingga akhirnya sampai kepada orang yang dituju. Surat perintah yang senantiasa berpindah tangan inilah yang dapat mempererat hubungan antar kelompok pasukan pejuang di Malang.