Pada saat pemerintahan Orde Baru di mana Presiden Soeharto memimpin, Indonesia dikenal memiliki tokoh yang dikenal dengan julukan si Raja Tega, yakni Laksamana Sudomo. Pria itu ternyata lahir di Malang, 20 September 1926 silam.
Pada masa mudanya, Sudomo memang sudah tertarik dengan dunia kelautan. Tak heran setelah tamat dari salah satu sekolah menengah di Malang, pada tahun 1943 ia melanjutkan studi ke sekolah pelayaran. Bahkan, setahun kemudian Sudomo sudah menjadi pengajar di sebuah sekolah pelayaran di Pasuruan.
Kariernya di dunia kelautan dimulai ketika Badan Keamanan Rakyat (BKR) Laut dibentuk pada tahun 1945. Ia pun mendaftarkan diri, dan tak butuh waktu lama karier militernya di Angkatan Laut melesat cepat. Hanya dalam waktu lima tahun saja, Sudomo sudah menduduki jabatan komandan kapal patroli Republik Indonesia di Flores dan Riau, dengan tugas memberantas penyelundupan.
Ketika dibentuk Operasi Mandala, dengan misi membebaskan Irian Jaya (Papua) dari Belanda, Sudomo dipercaya untuk memimpin. Operasi ini merupakan hasil seruan Tri Komando Rakyat (Trikora) yang didengungkan Presiden RI pertama, Sukarno, pada 19 Desember 1961.
Saat itu, 15 Januari 1962, Sudomo yang masih berpangkat Kolonel, turut serta dalam operasi senyap di Perairan Maluku. Ada tiga kapal, yakni KRI Harimau, KRI Macan Tutul, dan KRI Macan Kumbang yang terlibat operasi ini. Sayangnya, pergerakan mereka diketahui oleh Belanda. KRI Macan Tutul menjadi korban, ditenggelamkan Belanda, sehingga menewaskan Komodor Yos Sudarso. Beruntung, Sudomo saat itu selamat dalam peristiwa yang dikenal sebagai Pertempuran Laut Aru tersebut.
Setelah tragedi itu, Sudomo dikirim ke Makassar dengan tujuan membantu Panglima Mandala, Mayor Jenderal Soeharto. Sudomo menjadi Panglima Angkatan Laut Mandala. Kerjasama Soeharto-Sudomo di Makassar itulah yang diyakini sebagai awal hubungan baik antara keduanya yang berlanjut hingga masa Orde Baru berakhir.
Duet Soeharto-Sudomo berlanjut sejak lengsernya Presiden Soekarno usai terjadinya Gerakan 30 September 1965. Setelah Soeharto mengambil kekuasaan secara sistematis, Sudomo juga turut berperan. Jika Soeharto dan anak buahnya melenyapkan orang-orang yang dicurigai sebagai anggota maupun simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) di Angkatan Darat, maka Sudomo memainkan peran itu di Angkatan Laut.
Kala itu, Sudomo menduduki dua jabatan sekaligus, sebagai Panglima Angkatan Laut Kawasan Maritim Tengah dan Pembantu Menteri Perhubungan Laut. Tugasnya membantu Kepala Staf Angkatan Laut yang saat itu dijabat Jenderal Soemitro, untuk “membersihkan” AL dari orang-orang berbau PKI. Menurutnya, semua yang terindikasi PKI harus disingkirkan, sebagaimana perintah Soeharto. Pada tahun 1969, Sudomo akhirnya diangkat sebagai Kepala Staf TNI AL, menggantikan Soemitro.
Sebelum lengser pada tahun 1998, kekuasaan Presiden Soeharto sebenarnya sudah coba digulingkan para mahasiswa pada 18 Maret 1978. Jelang Sidang Umum MPR, suasana ibukota memanas karena aksi mahasiswa dari berbagai daerah yang bergerak menuju Istana Negara di Jakarta Pusat. Namun, tujuan mereka mendesak Soeharto untuk tidak lagi melanjutkan kekuasaannya sebagai presiden berakhir dengan kekecewaan. Si penguasa ternyata sedang tidak berada di tempat.
Selang dua hari, barulah turun tanggapan dari perwakilan istana, bukan langsung dari Soeharto, melainkan diamanatkan melalui Sudomo. Soeharto yang saat itu juga menjabat sebagai Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib), menunjuk Laksamana Sudomo selaku Kepala Staf Kopkamtib untuk melaksanakan tugas harian.
Gebrakan pun dilancarkan Sudomo merespon aksi para mahasiswa. Pertama, ia memberangus sejumlah media massa nasional dengan tudingan membesar-besarkan aksi mahasiswa lewat pemberitaan. Sejumlah koran yang dihentikan paksa penerbitannya harus memenuhi syarat-syarat khusus untuk bisa terbit kembali.
Langkah represif selanjutnya, Sudomo mengerahkan tentara untuk menduduki beberapa universitas yang mahasiswanya terlibat aksi. Ada 143 orang mahasiswa yang dianggap sebagai biang kegaduhan ditahan. Lalu, mereka diseret ke meja hijau, dan selanjutnya dijebloskan ke penjara.
Karena “jasanya” mengamankan posisi Presiden Soeharto, bahkan hingga 20 tahun ke depan, tak sampai sebulan setelah tindakannya merespon gerakan mahasiswa, Sudomo benar-benar menjadi orang nomor satu di Kopkamtib. Sudomo tak lagi hanya menjadi kepala staf, melainkan resmi ditunjuk sebagai Panglima Kopkamtib (Pangkobkamtib) sejak 17 April 1978.
Sudomo bisa dibilang sebagai satu-satunya perwira tinggi Angkatan Laut yang menduduki posisi strategis sepanjang Orde Baru berkuasa. Setelah menjadi petinggi Kopkamtib, Sudomo diangkat sebagai Wakil Panglima ABRI, Menteri Tenaga Kerja, Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan (Menko Polkam), hingga Ketua Dewan Pertimbangan Agung (DPA). Begitu pula ketika Orde Baru berakhir pada tahun 1998, praktis karier politiknya berakhir seketika.