Kelompok suku Manado bernama Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS) punya kisah perjuangan di kawasan Malang Raya. KRIS Malang ini turut serta dalam perjuangan revolusi kemerdekaan Republik Indonesia, seperti yang tertuang dalam buku KRIS 45 Berjuang Membela Negara.
Sejak awal tahun 1946 semua kelompok suku Manado di Surabaya, kecuali yang masuk Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia (BPRI), telah bergabung dengan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) Laut yang kemudian disebut Divisi VI Tentara Laut yang bermarkas di Lawang, Kabupaten Malang.
Susunan staf komando terdiri dari Komandan Letnan Kolonel J. Tamboto, Kepala Staf Letnan Kolonel JF Warouw, para staf Kapten Dolf Runturambi, Hein Wurangian dan dr. Supit, serta sekretaris divisi Lengkong. Pasukan Divisi VI Tentara Laut Lawang ini ditempatkan di garis pertahanan Sidoarjo untuk melakukan infiltrasi dan perlawanan bersenjata tentara Sekutu yang diboncengi Netherland Indies Civil Administration (NICA).
Demi meningkatkan kemampuan daya tempur dan disiplin keprajuritan, Divisi VI Tentara Laut Lawang yang banyak dihuni anggota KRIS ini, mendirikan depot pelatihan di Probolinggo dan Pasirputih. Selain itu, pasukan ini tidak melupakan tanggung jawab moralnya terhadap keluarga-keluarga yang mengikuti mereka mundur dari Surabaya.
Untuk mengurus para keluarga itu, pimpinan TKR Laut mendirikan sebuah badan sosial yang disebut Badan Sosial KRIS. Sebab, sejak di Surabaya mereka sudah menganggap dirinya anggota KRIS.
Tentara Laut di Lawang secara resmi tidak pernah menyebut diri TKR Laut KRIS, tapi di kalangan para pejuang Surabaya dan Lawang umumnya menganggap mereka sebagai bagian dari KRIS. Sebab, semua anggotanya memakai lencana KRIS. Karenanya, di kalangan badan-badan perjuangan, mereka lebih dikenal dengan sebutan Tentara Laut KRIS.
Sebutan itu pula yang dikenal di kalangan Pemerintah Jawa Timur. Sebab, orang-orang Lawang itulah yang kemudian mendirikan cabang-cabang KRIS di Probolinggo, Pasuruan, Jember, dan Banyuwangi. J. Tamboto sendiri yang menjadi ketua KRIS pertama di Lawang, yang disebut juga KRIS Surabaya. Secara de facto J. Tamboto yang menjadi ketua wilayah KRIS di bagian timur Jawa Timur.
Di samping tugas mempertahankan daerah perbatasan Sidoarjo-Probolinggo, pimpinan Divisi VI TRI Laut Lawang sebagai orang KRIS membentuk pasukan infiltrasi ke Sulawesi. Karenanya, mereka membentuk kelompok-kelompok tempur sukarela yang dalat digerakkan setiap saat, dan ditempatkan di sejumlah pelabuhan pantai utara Jawa Timur, Probolinggo, dan Pasirputih.
Pada mulanya seluruh usaha dan rencana latihan hanya diarahkan ke Sulawesi saja. Namun, sejak Belanda menduduki Madura pada 1947, usaha infiltrasi juga ditujukan ke pulau tersebut.
Peran Divisi VI TKR Laut Lawang
Divisi VI TKR Laut Lawang cukup banyak memberikan bantuan yang berarti kepada pasukan-pasukan KRIS yang berjuang di front Jawa Barat, Jakarta, dan Bandung, khususnya pada awal tahun 1946.
Sewaktu para pejuang dipaksa meninggalkan Surabaya, Divisi VI memang meninggalkan seluruh harta benda mereka, kecuali senjata-senjata rampasan perang yang tetap dibawa semuanya. Perlengkapan perang itu diberikan juga kepada kesatuan lain yang membutuhkan.
Mereka memberikan beberapa pucuk senjata pada Fred Kodongan yang merupakan komandan Batalyon II KRIS Bandung dan kepada Rapar, Palar dan Makaminang yang juga pemimpin-pemimpin KRIS Krawang dan Subang.
Divisi VI juga banyak memberi senjata kepada Kahar Muzakkar yang bertempur di bagian utara Surabaya. Kelompok-kelompok yang dipersiapkan untuk infiltrasi yang kemudian disebut Armada 40 pun turut dibantu.
Pada akhir tahun 1945, terjadilah gerakan-gerakan anti suku Ambon dan Manado di Kota Malang, karena pengaruh berita yang simpang siur dari Jakarta. Hal ini juga dipengaruhi berkecamuknya pertempuran di Surabaya karena Recovery Allied Prisoners of Wars and Internees (RAPWI) tanpa mengindahkan tuntutan para pemimpin rakyat, mengikutsertakan orang-orang Belanda dalam tim pekerja badan ini.
Kejadian itu makin memperkeruh suasana Kota Mlang. Hal itu sangat mempengaruhi pemikiran rakyat Malang, sehingga mereka marah. Sama halnya dengan di Jakarta, RAPWI di Malang menyelundupkan serdadu-serdadu NICA yang terdiri dari orang-orang Ambon dan Manado dalam tim kerjanya. Bekas tentara KNIL di Malang dibujuk untuk kembali bergabung dengan KNIL dengan iming-iming pangkat dan gaji besar.
Di Malang terdapat banyak keluarga tentara KNIL ditinggalkan para suami dan pergi bersama Belanda. Penduduk setempat mencurigai jika serdadu NICA dan RAPWI menyerbu Malang mereka akan membantu menghancurkan Republik dan mengembalikan kekuasaan Belanda.
Namun badan-badan perjuangan tidak terpengaruh oleh hasutan-hasutan tersebut sehingga kericuhan yang mulai terjadi di beberapa bagian kota tidak sempat meluas.
Pemuda-pemuda Manado yang tinggal di Manado dapat memahami kemarahan yang dialami masyarakat. Karenanya, mereka berusaha menjernihkan kesalahpahaman yang berkembang di masyarakat.
Para pemuda tersebut antara lain Alo Gerung Waworuntu, John Andrie, Jopie Pesik dan lain-lain yang sudah bergabung dalam TKR di Malang. Merekalah yang memberi pengertian kepada pemuka-pemuka masyarakat sehingga tidak terjadi insiden yang lebih luas. Setelah itu terjalin pengertian dan kerjasama yang baik antara orang Ambon-Manado dengan penduduk Kota Malang selama masa revolusi.
Pembentukan KRIS Cabang Malang
Ketika keadaan sudah mereda, utusan puncak pimpinan KRIS datang ke Malang untuk menganjurkan supaya mereka mendirikan KRIS. Para pemuda menyetujui gagasan pendirian KRIS, tetapi hanya sebagai wadah sosial. Untuk menjadikan KRIS sebagai badan pertahanan bersenjata, karena sebagian telah bergabung dengan TKR, khususnya detasemen polisi militer TKR.
Akhirnya, KRIS cabang Malang hanya bersifat sosial. Sebagai ketua yang pertama ditunjuklah Jan Tilaar. Dalam perkembangan selanjutnya, sebagai tempat pelarian keluarga-keluarga bekas daerah pendudukan Surabaya-Mojokerto, fungsi dan tugas sosial KRIS Malang menjadi sangat penting dan berat.
Pada saat itu jumlah keluarga Manado yang membutuhkan perawatan, termasuk para pengungsi dari daerah-daerah pendudukan, tidak kurang dari 5.000 orang. Pada umumnya, mereka merupakan anak-anak dan para istri serdadu-serdadu KNIL yang oleh Belanda diungsikan ke Australia pada waktu Jepang memasuki Indonesia.
Selama masa pendudukan Jepang, khususnya pada tahun 1945, para keluarga tersebut sangat bergantung pada bantuan dari pimpinan perkumpulan-perkumpulan Manado setempat. Maka, wajar kemudian mereka mengikuti orang-orang itu mengungsi setelah tempat tinggalnya diduduki Belanda.
Pemerintah RI yang diwakili Menteri Sosial, Maria Ulfah SH, sudah berupaya membantu dengan memberi sejumlah uang, tapi belum mampu mengurus mereka. Sementara, bekas pimpinan perkumpulan sosial Manado setempat, yang kini berkedudukan sebagai pengungsi, juga tidak dapat berbuat banyak, kecuali menghubungi keluarga Manado di tempat baru tersebut. Mereka akhirnya dibawa kepada pengurus KRIS Malang.
Semua keluarga Manado terbuka untuk menampung keluarga-keluarga eks KNIL di rumahnya masing-masing. Namun, pada umumnya mereka tidak mampu memberi makan.
Seperti yang terjadi di rumah keluarga Kosiyungan yang menampung 20 orang, padahal keluarga mereka yang memiliki empat orang anak, berkehidupan pas-pasan. Namun demikian, selama keadaan memungkinkan mereka tetap mengusahakan untuk memberi tempat dan makan sekedarnya pada para pengungsi.
Untungnya para pengungsi yang jauh melebihi jumlah orang Manado di Malang dapat ditampung dan dirawat dengan disediakan makanan dan pakaian yang layak. Dalam hal ini dapat disebutkan jasa Alo Gerung Waworuntu, yang secara sukarela memikul tanggung jawab mencari dan mengumpulkan bantuan untuk para pengungsi.
Dia mencari bantuan sampai Jakarta dan memperoleh bantuan berupa dana dan pakaian dari berbagai perkumpulan dan perorangan kawanua termasuk dari Menteri Keuangan Mr. AA Maramis.
Pada akhir tahun 1946 dan awal 1947 beberapa keluarga eks KNIL meninggalkan Malang, setelah mendapat kabar bahwa suami mereka sudah kembali di Indonesia. Untuk keluarga kawanua ini mereka dapat dengan mudah melintasi garis demarkasi di daerah yang dijaga pasukan KRIS dengan surat PMI.
Di daerah seberang sebagai keluarga KNIL, mereka tentu akan mendapat pelayanan yang baik. Saat itu sikap KRIS tersebut sering dipertanyakan dan dikecam oleh badan-badan perjuangan lainnya. Tetapi KRIS berpendapat bahwa justru dengan membantu dan melindungi keluarga-keluarga itulah dapat ditanam bibit kesadaran dalam benak anggota KNIL, bahwa mereka terlibat dalam perjuangan bangsa di tanah air.
Sebaliknya jika mempersulit mereka maka akan menimbulkan dendam dan kebencian para suami yang bertugas di KNIL dan menjadikan mereka lebih kejam dalam bertindak.
Hal itu pernah dialami Lembong, anggota Divisi VI TRI Laut di Lawang. Semula dia sebagai anggota pasukan Heiho bentukan Jepang tetapi melakukan desersi dan bergabung dengan pasukan Sekutu yang memerangi Jepang di Philipina.
Setelah kemerdekaan Indonesia, dia berniat mengabdikan diri pada perjuangan dan bergabung dengan tentara Indonesia. Dari keluarga-keluarga KNIL yang baru tiba di pedalaman, Lembong mengetahui bahwa di daerah perbatasan Surabaya seluruhnya dikuasai orang-orang Sulawesi. Karenanya, dia pergi ke Surabaya.
Berpedoman pada keterangan yang didapat, dia tiba di Lawang. Setelah melalui berbagai proses pemeriksaan, Lembong selanjutnya ditampung dan diikutsertakan dalam badan perjuangan. Selanjutnya dia diserahi pimpinan atas sebuah kesatuan dalam Divisi VI Tentara Laut Lawang dan kemudian dalam kesatuan KRU X dan Brigade XVI.
Pada masa itu, Malang merupakan kota yang paling aman, nyaman, dan paling tertib di daerah kekuasaan Republik Indonesia. Sampai tahun 1947, Malang merupakan kota peristirahatan untuk anggota pemerintah, tentara dan badan-badan perjuangan. Di kota ini, para anggota KRIS, baik dari seksi pertahanan maupun seksi lainnya, selalu mendapat sambutan yang baik.
Penengah Pertikaian Sesama Pasukan KRIS
Selain usaha-usaha sosialnya, KRIS Malang sering harus berperan sebagai penengah dalam pertikaian demi terpeliharanya wadah kesatuan KRIS. Dalam pertikaian antara sesama pasukan KRIS, orang-orang KRIS Malang, khususnya pemuda-pemuda yang terdapat dalam polisi militer selalu berusaha menyadarkan mereka akan kewajiban sebagai pejuang bangsa.
Seperti dalam kasus pertikanan antara Batalyon II Sukapura yang dikenal sebagai Batalyon KRIS Bandung dengan pasukan KRIS Karawang. Insiden tersebut disebabkan penolakan KRIS Bandung menjadi kesatuan pasukan KRIS dalam konferensi seksi pertahanan KRIS pada Juli 1946 di Solo.
Kala itu, rombongan KRIS Bandung hanya terdiri dari komandannya, F. Kodongan dan empat anggotanya. Mereka dikepung serta senjata dan kendaraan mereka dilucuti pasukan KRIS Krawang.
Pemuda KRIS Malang bertindak dan berusaha menyadarkan pejuang-pejuang Krawang atas kekeliruan tindakan mereka. Namun, KRIS Krawang tidak mau tahu dan malah menentang orang-orang dari KRIS Malang tersebut.
Persoalan menjadi berlarut-larut, sehingga KRIS Malang meminta bantuan dari orang-orang KRIS Lawang. Setelah Joop Warouw dari Divisi VI Tentara Laut Lawang mendamaikannya. Akhirnya, persoalan dapat diselesaikan. Senjata-senjata KRIS Bandung dikembalikan, tetapi mobil Packard loreng yang oleh KRIS Bandung direbut dari Inggris di Bandung dan dibawa masuk ke daerah pedalaman, sudah dilarikan ke Krawang sehingga tidak dapat dikembalikan lagi.
Insiden yang terjadi di Malang telah semakin memperlebar kesenjangan antara KRIS Bandung dengan KRIS Krawang. Hal itu kemudian sangat merugikan kedudukan pasukan KRIS dalam organisasi ketentaraan. Orang-orang KRIS Lawang yang mempunyai pendirian yang sama dengan KRIS Bandung, sudah jelas tidak dapat membenarkan tindakan KRIS Krawang yang sewenang-wenang.
Dengan demikian, sekalipun secara resmi hanya seksi sosial, tapi KRIS yang ada di Lawang, pada hakikatnya gerakan KRIS secara utuh berfungsi di Surabaya dan Lawang.
Sumber: KRIS 45 Berjuang Membela Negara