Kisah kurang beruntung pernah dialami Putri Febriana (20) pada 2019 lalu. Saat itu, dalam waktu sepekan saja, ia harus mengeluarkan uang hingga Rp 800 ribu karena banyaknya makanan yang datang diantar oleh tukang ojek online.
Padahal, Putri yang saat itu masih duduk di bangku SMA, merasa tidak pernah memesan makanan-makanan yang datang itu. Pada akhirnya Putri menyadari bahwa ada seseorang di luar sana menggunakan aplikasinya tanpa izin untuk memesan makanan.
Setelah mengetahui bahwa aplikasinya dikendalikan orang lain, ia segera meminta pemblokiran ke pengelola aplikasi. Setelah aplikasinya diblokir, mahasiswi Jurusan Hukum, Universitas Widyagama itu tidak lagi menerima pesanan makanan.
“Saya teledor, memberikan email saya ke teman-teman. Saat itu, teman-teman minta menggunakan email saya untuk main gim,” ujar Putri.
Putri terpaksa membayar makanan yang berulang kali datang itu. Jumlah Rp 800 ribu itu cukup banyak meningingat dirinya belum bekerja. Meski telah membayar, ia mengaku tidak memakan semua jenis makanan yang datang itu.
Rasa takut menyelimuti dirinya akan keamanan makanan jika dikonsumsi. Dijelaskan Putri, alamat emailnya tidak sekadar terhubung dengan akun gim, tapi juga akun lainnya, termasuk aplikasi ojek online.
Cerita di atas disampaikan Putri saat mengikuti pelatihan keamanan digital yang diselenggarakan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Malang di Universitas Widyagama Malang, Minggu (9/4/2023). Berkaca ada peristiwa di atas, maka penting bagi seseorang memiliki pengetahuan cara menjaga aset digital agar tetap aman.
AJI Malang mendorong jurnalis dan publik secara luas memiliki pengetahuan keamanan digital itu melalui pelatihan. Peserta yang mengikuti pelatihan memiliki tanggungjawab untuk berbagi ilmunya ke orang terdekat.
Ketua Prodi Ilmu Hukum Universitas Widyagama Malang, Zulkarnain menyatakan perlindungan data pribadi merupakan salah satu hak asasi manusia yang menjadi bagian dari perlindungan pribadi. Saat ini sudah ada UU Perlindungan Data Pribadi sehingga pihak yang melawan hukum menyebarkan atau mebobol data pribadi bisa dipidana.
“Hukum melindungi agar orang tidak tersesatkan.Cyber crime adalah kejahatan konvensional yang dilakukan dengan modus modern. Sehingga penegakan hukumnya harus menggunakan kombinasi antara UU ITE dan UU lainnya yang terkait,” ungkapnya.
Berdasarkan Pasal 15 UU ITE, penyelenggara sistem elektronik harus menyelenggarakan sistem elektronik secara andal dan aman serta bertanggungjawab terhadap beroperasinya sistem elektronik sebagaimana mestinya. Jika ada kebocoran, maka pihak penyelenggara wajib bertanggungjawab. Publik juga bisa mengadukan ke penegak hukum jika merasa dirugikan atas pelanggaran perlindungan data pribadi.
Anggota AJI Malang yang memberi pelatihan, Asad Arifin menjelaskan, di era digital dan internet saat ini, tidak menjamin semua perangkat yang digunakan aman. Di sisi lain, kebutuhan manusia akan internet dan aplikasi yang memyertainya sangat tinggi.
“Di dunia digital tidak semuanya aman, jadi yang bisa kita lakukan adalah membentengi diri dengan keterampilan,” ujarnya.
Oleh sebab itu, penting sekali pengetahuan mengamankan akun maupun identitas digital di era serba internet seperti saat ini. Pengetahun cara melindungi dan menjaga keamanan digital akan mengurangi risiko dampak buruk jika ada pihak yang hendak membobol.
Berdasarkan pengalamannya, Asad berbagi tips bagaiman caranya menjaga keamanan digital. Beberapa hal yang perlu dilakukan seseorang agar keamanan digitalnya terjamin antara lain, tidak menggunakan wifi publik, terutama ketika hendak melakukan transaksi keuangan. Penggunaan wifi publik berpotensi diretas oleh pihak yang mengendalikan wifi tersebut.
“Sebaiknya gunakan wifi pribadi saja,” paparnya.
Asad juga menyarankan agar tidak sembarangan menggunakan USB. Pasalnya, USB publik bisa dijadikan medium mentransmisikan data yang ada di gawai.
Upaya lain yang bisa dilakukan untuk mengamankan aset digital adalah membuat kata kunci atau password yang kuat. Penggunaan browser tertentu juga sebaiknya dihindari karena berdasarkan pengalamannya, Asad menemukan sejumlah browser yang kurang aman digunakan.
“Sebaiknya juga jangan terlalu mengumbar diri. Lindungi identitas pribadi yang tidak perlu diketahui orang lain. Dalam pelatihan ini, kami juga belajar bersama tentang manajemen liputan berisiko. Kami belajar mengirim pesan yang terenkripsi. Pesan tersebut hanya diketahui oleh pengirim dan penerima, sehingga meminimalisir kebocoran,” ungkapnya.
Sekretaris AJI Malang, Dendy Gandakusumah menjelaskan, AJI mendorong publik dan jurnalis untuk memiliki pengetahuan tentang keamanan digital. Beberapa waktu lalu, AJI Indonesia telah menerbitkan buku Panduan Keamanan Digital untuk Jurnalis.
Buku panduan ini ditulis oleh Adi Marsiela dan Luh De Suriyani, pengurus AJI Indonesia Bidang Internet. Buku panduan tersebut bisa diakses di https://aji.or.id/read/buku/98/panduan-keamanan-digital-untuk-jurnalis.html.
“Panduan tersebut juga terbuka untuk publik. Buku panduan itu untuk mitigasi dan menghadapi kemungkinan serangan digital atau doxing kepada jurnalis,” paparnya.
Dijelaskan Dendy, AJI Indonesia melihat risiko jurnalis terhadap pekerjaannya semakin tinggi di era internet. Sejumlah kasus tercatat, ada doxing yang dilakukan terhadap jurnalis. Laporan lainnya menyebutkan adanya teror dan ancaman digital.
“Tentu saja peretasan dan hal-hal lainnya itu sangat dikhawatirkan. Dampaknya tidak sekadar pada satu orang saja, kondisi itu juga membahayakan nyawa dan keluarga,” terangnya.