Kelompok tunanetra Kota Malang membuat batik yang mereka sebut Batik Netra. Karya itu tercipta untuk mengisi kekosongan aktivitas mereka di tengah pandemi covid-19.
Para penyandang tunanetra itu biasnaya bekerja sebagai terapis pijat di sejumlah panti pijat. Karena tempat usaha itu ditutup selama dua bulan terakhir demi memutus mata rantai covid-19, mereka pun menganggur.
Namun, pandemi ini tak mengentikan kreativitas para penyandang tunanetra tersebut. Dua bulan terakhir, mereka berkumpul dan beralih profesi dengan menjadi pengerajin batik.
Dilansir Malang Times, Adi Gunawan selaku Penginisiasi Kelompok Kerja Membatik menjelaskan program tersebut merupakan salah satu langkah untuk menumbuhkan kreativitas dan kemandirian bagi para penyandang tunanetra. Selama dua bulan terakhir, mereka mencoba menghasilkan sejumlah karya batik.
“Berangkat dari situ, kami ingin membuat sebuah terobosan baru yaitu menyediakan kesempatan bekerja bagi para tunanetra. Nah, kita berpikir, apa yang bisa kita buat supaya kita bisa melibatkan teman-teman tunanetra lainnya. Daripada mereka menganggur, tidak ada pekerjaan, dan pemasukan. Lha kita punya ide untuk menciptakan kelompok kerja membatik,” kata Adi.
Batik Netra Karya Tunanetra Kota Malang dibuat di Omah Difabel II
Karya Batik Netra itu dibuat Kelompok Kerja Membatik di Omah Difabel II. Rumah khusus itu terletak di kawasan Perumahan Puncak Tidar AE 40 Kota Malang.
Di sanalah, para penyandang tunanetra yang terkoordinir melakukan aktivitas pembuatan batik. Mulai dari melipat kain, hingga menentukan pola-pola yang akan dipakai sampai tahapan pewarnaan, penjemuran dan terakhir menjadi kain batik dengan aneka warna yang cantik.
“Pertama proses persiapan bagi teman-teman tunanetra sangat panjang. Harus dipersiapkan dari segi orientasinya, mereka nanti meraba kain bagaimana, melipatnya bagaimana, lalu menggelarnya di lantai bagaimana. Itu persiapan yang panjang karena menyesuaikan dengan orientasi mobilitasnya,” imbuhnya.
Butuh Pembelajaran Secara Telaten Bagi Tunanetra
Awalnya, para penyandang tunanentra itu dilatih secara sederhana. Sebelum menerapkannya ke kain, mereka diajari terlebih dulu menggunakan media kertas.
“Mereka belajar pola pengikatan, di sini ada beberapa macam yang harus dihafal dari satu pola ke pola lainnya. Nah, kita sudah buat bagaimana agar pola itu lebih dimengerti dan dipahami oleh tunanetra dari semua ragam. Baik itu tunanetra total yang tidak bisa sama sekali, ataupun tunanetra low vision,” imbuhnya.
Setelah mereka mempraktikkan ke kain, maka harus dilakukan secara berulang-ulang untuk melatih insting. Lama kelamaan mereka akan menghafal semua pembentukan pola tersebut, baru berikutnya menuju ke tahap pewarnaan, pelepasan ikatan dari pola, hingga penjemuran.
“Tingkat orientasinya ini lebih tinggi. Karena mereka akan diberi konsep warna, risikonya seperti apa dan seterusnya. Lalu, mereka baru memasuki tahapan yang lebih ringan seperti melepas ikatan, membantu membilas dan berjemur,” tandasnya.
Discussion about this post