Musim kemarau yang dimulai pada pertengahan Juli ini nampaknya telah siap dihadapi oleh Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Batu. Sebab, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) telah memprediksi jika sebagian wilayah di Indonesia akan mengalami puncak musim kemarau yang diperkirakan terjadi pada bulan Agustus mendatang, hal ini juga terjadi di Kota Batu.
Dengan terjadinya puncak kemarau tersebut, BMKG mempediksi dampak yang akan terjadi yaitu kebakaran hutan dan lahan (karhutla), sebab hal ini berpeluang terjadi saat sudah tidak ada hujan sama sekali. Sesuai dengan yang telah terjadi di tahun lalu, kebakaran hutan di lereng gunung dan semeru sudah pernah terjadi. Sehingga dalam menanggulangi hal ini, BPBD bersiap-siap untuk memperkecil resiko yang dapat terjadi saat puncak musim kemarai nanti.
Kepala BPBD Kota Batu Agung Sedayu menyampaikan, Kota Batu belum pernah mengalami kekeringan saat terjadi musim kemarau. Sehingga hal ini menunjukkan jika persediaan air untuk kebutuhan pertanian atau kebutuhan rumah tangga dikatakan masih aman dan tercukupi. Namun, hal ini tak sama dengan bencana yang dapat terjadi, sebab kebakaran hutan dan angin puting beliung masih sering terjadi di Kota Batu saat musim kemarau. “Untuk mengantisipasi kebakaran hutan kami sudah berkoordinasi dengan Perhutani. Sehingga, ketika ada laporan timbulnya titik api, kami tinggal action saja,” tegas Agung melalui Jawa Pos Radar Malang.
Perkiraan titik lokasi yang memiliki indeks resiko tertinggi terjadinya karhutla adalah di kawasan Gunung Panderman dan Arjuno. Dengan terjadinya bencana ini tentu banyak penyebabnya, mulai dari manusianya sendiri dan juga factor alam.
Agung juga kembali menjelaskan jika factor alam merupakan penyebab terjadinya karhutla karena kondisi hutan yang sudah sangat kering. Selain itu, kondisi ini juga terjadi hembusan angina sehingga mengakibatkan gesekan yang kemudian dapat menimbulkan percikan api dan menjadi terbakar.
Namun hal lain seperti factor manusia juga menjadi alasan terjadinya karhutla ini. “Contohnya seperti membuang puntung rokok sembarangan serta tidak dimatikan secara sempurna bekas api unggun. Itu semuanya biasanya menjadi penyebab utama,” tuturnya. Sebab, manusia yang membuat api unggun di gunung, rata-rata hanya memadamkan di bagian sisi atas saja, tanpa memperhatikan sisi bawahnya sehingga tak maksimal dan dapat menimbulkan kebakaran.
Maka dengan penyebaba factor manusia ini, perlu diingat bagi masyarakat yang melakukan pendakian di gunung penting untuk menjaga lingkungan, seperti tak membuang sampah putung rokok sembarangan dan pembuatan api unggun yang harus benar-benar padam saat ditinggalkan.