Kota Batu memiliki sebuah wisata sejarah sekaligus wisata religi yang lekat dengan nama Kota ini sendiri. Makam Mbah Mbatu, sebuah kompleks makam tokoh-tokoh yang disebut-sebut sebagai ‘pendiri’ alias babat alas daerah tersebut. Tak hanya itu, tokoh-tokoh ini juga konon menjadi penyebar agama Islam di Kota Batu. Tempat ini berlokasi di Dusun Banaran, Desa Bumiaji, Kecamatan Bumiaji.
Mbah Wastu
Mbah Mbatu sendiri nyatanya bukan nama sebenarnya. Nama ini adalah sebuah panggilan bagi Pangeran Rojoyo, seorang Putra Sunan Kalijogo. Pangeran Rojoyo termasuk penyebar agama Islam yang terkenal, beberapa orang mengenal beliau dengan julukan Syekh Abul Ghonaim, Mbah Wastu dan Kiai Gubuk Angin. Konon, panggilan Mbah Wastu inilah yang menjadi asal mula kata Mbatu, alias Mbah Mbatu.
Pangeran Ronojoyo dipercaya adalah seorang murid Pangeran Diponegoro. Ia dikisahkan mearikan diri ke timur Pulau Jawa untuk menghindari pasukan Belanda. Untuk mengeabuhi Belanda, sekaligus memperudah panggilannya, Ia memperkenalkan diri sebagai Mbah Wastu atau Mbah Mbatu.
Dalam pelarian tersebut, Mbah Wastu mendirikan sebuah padepokan di kaki Gunung Panderman sebagai tempat untuk mengajarkan berbagai ilmu, termasuk menyebarkan Islam kepada masyarakat, hingga meninggal pada tahun 1830.
Mbah Tu
Tak hanya panggilan pada Pangeran Ronojoyo, Mbah Mbatu juga dismatkan untuk istrinya, Dewi Condro Asmoro. Ia merupakan salah seorang keturunan Kerajaan Majapahit, tepatnya putri Prabu Suito Kerto dan Dewi Anjasmoro.
Soal nama panggilan Mbatu pada Dewi Condro Asmoro, itu berawal dari panggilan Pangeran Rojoyo kepadanya, yakni Mbok Tuwo. Para santri Pangeran Rojoyo pun memanggilnya Mbok Tu untuk menyingkat nama panggilan tersebut. Lama-kelamaan panggilan Mbok Tu itu menjadi Mbah Tu, hingga akhirnya menjadi nama Mbatu. Sekali lagi, hal itu dipengaruhi oleh kebiasaan masyarakat Jawa memperpendek nama.
Mbah Tu sendiri melakukan syiar agama Islam tak hanya di Batu. Bahkan, perjuangannya sampai ke ranah Lumajang, Pasuruan, dan Jember. Hingga akhir hayatnya pada tahun 1781, Mbah Tu tetap menyebarkan syiar Islam bersama sang suami. Konon, menariknya, ia meninggal saat melantunkan lafadz pujian miftakhul jannah.
Kompleks Makam Mbah Mbatu
Selain Makam ‘duo’ Mbah Mbatu itu, dalam komplek ini terdapat pula makam dua tokoh lainnya. Mereka adalah Dewi Mutmainah, dan Kyai Naim. Dewi Mutmainah merupakan istri muda dari Pangeran Rojoyo. Ia merupakan putri Syekh Maulana Muhammad, putra Sunan Gunung Jati. Dewi Mutmainah yang juga seorang istri yang selalu mendampingi dan mendukung perjuangan syiar Islam sang suami akhirnya meninggal dunia pada tahun 1847.
Sementara itu, Kyai Naim adalah salah seorang teman seperjuangan Pangeran Rojoyo yang berasal dari Mataram. Ia datang ke Batu untuk memberitahukan soal perang di Mataram. Kemudian, ia diminta Pangeran Rojoyo untuk tinggal menetap untuk membantu mengajar mengaji di pondoknya. Selang beberapa lama, saat memutuskan ingin kembali ke Mataram, Kyai Naim meninggal dunia karena terjatuh dari kuda.