Malangkucecwara, semboyan Kota Malang yang mungkin sudah familiar di telinga Umak. Namun mungkin banyak yang belum tahu sejarah semboyan ini.
Diusulkan oleh Mas Ngabehi
Jika Umak berpikir bahwa Malangkucecwara adalah semboyan usulan Bupati atau Walikota Malang, maka Umak salah besar. Nyatanya, istilah populer ini diusulkan oleh seorang asli Solo yang ahli dalam berbahasa Jawa Kuno dan bahasa Sansekerta. Ialah Prof. Dr. Raden Mas Ngabehi Poerbatjaraka, yang mengusulkan Malangkucecwara menjadi semboyan yang kini terpampang pada logo Kota Malang.
Professor yang dikenal dengan nama Mas Ngabehi ini memiliki nama kecil Lesiya. Ia bukan keturunan Bangsawan, melainkan keturunan Pujangga Solo Josodipoero. Kecintaannya akan budaya Jawa berhasil membuat Mas Ngabehi mendapatkan beasiswa untuk belajar di Belanda. Beliau banyak menerbitkan karya berupa buku-buku sastra dan budaya, termasuk karya terjemahan prasasti-prasasti di Indonesia.
Tidak terbatas pada buku berbahasa Indonesia, namun Mas Ngabehi juga menulis dalam bahasa Belanda. Mantan Dekan di Universitas Gajah Mada dan guru besar Fakultas Sastra Universitas Indonesia dan Universitas Nasional ini setidaknya sudah menerbitkan sekitar 73 buku.
Malangkucecwara Disebut Dalam Prasasti
Sebelum akhirnya kata Malangkucecwara diusulkan menjadi semboyan Kota Malang, ternyata kata ini pernah disebut dalam prasasti yang dikeluarkan oleh Raja Balitung bernama Kedu tahun 907, dan prasasti dekat Singosaari tahun 908.
Diceritakan dalam Piagam jika orang-orang memperoleh piagam tersebut adalah memuja-muja para batara dari Malangkucecwara, Putecwara, Kutusan, Cilabhedecwara, dan Tulecwara. Penyebutan nama tersebut membuktikan jika Malangkuca, Puta, Kudusan dan sebagainya adalah nama raja-raja yang pernah memerintah atau wafat dan dimakamkan di candi-candi lalu disebut Batara. Sayangnya, lokasi Candi Malangkucecwara tidak diketahui tempatnya hingga kini.
Arti Malangkucecwara
Menurut ahli bahasa, Raden Mas Ngabehi Poerbatjaraka, Malangkucecwara memiliki arti sebagai berikut,
Mala berarti segala sesuatu yang kotor, kepalsuan, atau kebathilan. Sedangkan Angkuca/angkuc berarti menghancurkan atau membinasakan, dan Icwara memiliki arti Tuhan. Sehingga jika digabungkan maka kata tersebut mempunyai arti Tuhan menghancurkan yang batil.
Penggunakan kata tersebut diresmikan menjadi semboyan di Malang pada peringatan 50 tahun berdirinya Kotapraja Malang pada 1 April 1964. Keputusan itu dituangkan dalam keputusan DPRD No. 7/DPRDGR tertanggal 10 April 1964 dan dipakai hingga sekarang.
Baca juga: Keren! Cold Storage Ikan Ada di Turen, Kabupaten Malang
Subscribe channel Youtube kami, ikuti kami di Instagram dan gabunglah bersama kami di Facebook untuk menjadi bagian dari komunitas Arema dan Aremania.