Desa Wadung berada di Kecamatan Pakisaji, Kabupaten Malang, yang memiliki sejarah unik. Pasalnya, cerita penemuan desa ini memiliki dua versi.
Dulunya, wilayah Desa Wadung merupakan tempat yang terkenal angker karena masih berupa hutan belantara. Hutan ini berada di dataran tinggi, tepatnya di Kaki Gunung Katu. Nama Desa ini berasal dari nama pohon yang tumbuh subur di Hutan ini, yakni Pohon Wadung. Konon, pohon ini memiliki buah yang rasanya sangat pahit, dan tidak bisa dikonsumsi manusia. Sayangnya saat ini pohon Wadung sudah tidak dapat kita temukan lagi di wilayah tersebut.
Tokoh bernama Mbah Saridho
Masyarakat meyakini bahwa tokoh penting dalam sejarah terbentuknya Desa Wadung merupakan Mbah Saridho, seseorang yang telah melakukan bedah kerawang alias babat alas.
Pada suatu hari, terjadi peristiwa yang menggemparkan warga, yakni terbelahnya pohon beringin yang berada di tengah-tengah Desa Wadung. Pohon yang sangat besar dan telah berumur ratusan tahun ini terbelah menjadi dua bagian dan memuncukan dua buah batu nisan yang menunjukkan makam seseorang.
Kemunculan makam misterius ini menggemparkan warga. Maka disepakati untuk meminta bantuan pada sesepuh dengan ilmu kebatinan. Setelah melakukan tirakatan selama 40 hari untuk meminta pertolongan Tuhan agar diberikan petunjuk pemilik makam tersebut, muncullah sebuah petunjuk. Menurut petunjuk yang diterima para sesepuh, makam misterius yang ditemukan warga adalah makam Mbah Saridho yang diyakini sebagai orang yang babat alas kampung tersebut.
Konon, ketika ada sesuatu yang akan terjadi di wilayah Desa Wadung, bakal muncul pertanda dari Makam Mbah Saridho. Menurut cerita warga setempat, biasanya muncul sosok harimau puitih yang mereka yakini sebagai jelmaan bayangan dari Mbah Saridho.
Santri Pangeran Diponegoro
Jika tokoh penting di versi sebelumnya adalah Mbah Saridho, maka dalam sejarah versi ini orang yang berperan penting dalam penemuan Desa Wadung yakni Mbah Mochammad Sholeh dan Mbah H Abdul Syukur. Kedua tooh ini adalah orang pelarian dari Mataram yang babat alas sekitar tahun 1830-an. Keduanya merupakan santri Pangeran Diponegoro yang melarikan diri ke timut setelah sang guru meninggal dunia dibunuh oleh Belanda. Mereka hijrah ke timur Pulau Jawa juga untuk menyebarkan ajaran agama Islam hingga memutuskan menetap di desa yang kemudian dinamakan Desa Wadung.
Baca juga: Sejarah Desa Parangargo Wagir dan Bukit Pusaka
Subscribe channel Youtube kami, ikuti kami di Instagram dan gabunglah bersama kami di Facebook untuk menjadi bagian dari komunitas Arema dan Aremania.