Tanggal 4 Desember biasa diperingati sebagai Hari Artileri. Ternyata dari Malang sempat muncul seorang perwira KNIL (Koninklijk Nederlandsch-Indische Leger) yang merupakan perwira artileri dari kalangan pribumi bernama Tjhwa Siong Pik.
Dalam strategi perang, pasukan artileri biasanya tidak ikut maju ke garis terdepan. Mereka akan berada di garis pertahanan, karena bersenjatakan meriam, roket, dan senjata peluncur lainnya. Sebelum adanya persenjataan modern itu, pasukan artileri menggunakan senjata busur dan anak panah.
Para perwira KNIL, baik perwira infanteri, kavaleri, maupun artileri lahir dari pendidikan militer Koninklijke Militaire Academie (KMA) Breda. Selain Akademi Militer yang ada di Belanda itu, Kerajaan Belanda pun punya KMA di Bandung yang lahir sebagai Akmil alternatif ketika Belanda diduduki Jerman pada tahun 1940.
Tjhwa merupakan satu dari sekian perwira yang lulus dari KMA Bandung. Pada saat itu KMA Bandung mampu menampung 200 calon perwira, sedangkan perwira dari kalangan pribumi cuma ada 21 orang pilihan, termasuk Tjhwa yang seorang keturunan Tionghoa.
Sebelumnya, mereka terlebih dahulu mengikuti pendidikan CORO (Corps Opleiding Reserve Officeren – Korps Pendidikan Perwira Cadangan KNIL). Mereka yang cakap bisa melanjutkan ke KMA, sedangkan yang tidak lolos seleksi ini cukup jadi bintara atau pembantu Letnan.
21 Perwira yang lolos seleksi masuk KMA akhirnya dibagi menjadi dua angkatan. Ada 11 orang dalam angkatan pertama yang masuk awal tahun 1941 dan sempat menjalani wisuda. Sementara, 10 orang angkatan kedua masuk pertengahan 1941, tetapi tak sempat diwisuda, termasuk Tjhwa.
Memang, tak semua alumni KMA Bandung dari kalangan pribumi masuk menjadi anggota TNI ketika awal pembentukan. Ada pula yang bernasib malang seperti Tjhwa yang tewas terbunuh di kota asalnya, Malang
Siapakah Tjhwa Siong Pik?
Perwira TNI, Alex Kawilarang yang merupakan teman satu angkatan di KMA Bandung pernah mengisahkan nama Tjhwa Siong Pik dalam memoarnya yang disusun Ramadhan K.H., AE Kawilarang: Untuk Sang Merah Putih (1988: 5).
Tjhwa adalah contoh unik di pasukan KNIL karena tak banyak orang Tionghoa yang bisa diterima di kemiliteran Hindia Belanda kala itu. KMA Bandung cuma menerima pribumi yang punya ijazah AMS atau HBS, sekolah khusus anak-anak ningrat. De Indische Courant (12/6/1939) memberitakan Tjhwa dinyatakan lulus HBS pada 1939.
Namun, Tjhwa punya ijazah itu, sehingga bisa mendaftar di KMA Bandung bersama 11 pemuda lainnya. Ketika itu, cuma lima orang saja yang diterima KMA Bandung, dan Tjhwa berada di antara mereka.
Dikisahkan Alex, ketika pendudukan Jepang di Indonesia pada tahun 1942, Batalion Depot KNIL Bandung sudah berubah menjadi tawanan perang. Pada 22 April 1942, ada rencana dari militer fasis Jepang untuk menggunduli para tawanan perang untuk memberikan tanda khusus pada mereka.
Alex yang paling senior di antara para perwira KNIL alumni KMA Bandung dari kalangan pribumi mengajak para juniornya melarikan diri pada 21 April malam. Alex membagi mereka menjadi tiga kelompok, ada Suprio bersama Mokoginta, Kadir bersama Suprapto, dan Alex bersama Rachmat Suryo dan Tjhwa Siong Pik.
Dilansir dari Tirto, per lima menit mereka bergerak ke luar tanpa seragam serdadu KNIL dalam guyuran hujan lebat menembus pagar kawat berduri. Mereka berada di luar kamp setelah lewat tengah malam. Dengan hati-hati mereka merayap di selokan untuk menghindari serdadu Jepang yang belum tahu jika tawanannya kabur.
Alex berencana pulang ke rumahnya di Bandung dulu selama dua jam, lalu bertemu lagi dengan Suryo dan Tjhwa di rumah bibi Suryo. Keesokan harinya Alex dan Tjhwa pergi ke Batavia (Jakarta). Mereka pergi berdua saja karena Suryo ogah ke Jakarta lantaran banyak yang mengenalinya.
Paginya, Alex bersama Tjhwa ke Jakarta. Keduanya lantas berpisah. Alex menyebutkan, Tjhwa pergi ke Malang, kota asalnya. Mereka pun akhirnya mencari hidup masing-masing di zaman penjajahan Jepang.
Dalam memoar yang sama, Alex menceritakan dirinya mendapatkan kabar bahwa Tjhwa tertangkap oleh Polisi Militer Jepang, Kempetai di Kota Malang pada tahun 1945. Rekannya itu ditembak mati di sana. Pada zaman Jepang, orang etnis Tionghoa juga hidup sulit, karena sering dipersekusi atau dibunuh Jepang.
Pada tahun 1947, koran Het Dagblad (26/4/1947) memberitakan bahwa keberadaan Tjwa dicari oleh keluarga setelah dua tahun menghilang. Berita orang hilang itu dibuat oleh Kwee Swan Nio atau Hoo Nga Tjoe. Namun, Tjhwa sudah abadi di alam sana.
Subscribe channel Youtube kami, ikuti kami di Instagram dan gabunglah bersama kami di Facebook untuk menjadi bagian dari komunitas Arema dan Aremania.