Sebagai pusat dari Kota Malang, alun-alun kerap dijadikan tempat untuk refresing. Sebagai tambahan untuk santai, maka di sekitar alun-alun dibangun sebuah lokasi hiburan untuk memberikan kesenangan. Salah satu hiburan itu adalah gedung bioskop.
Surga bioskop di Malang dahulu ada di Jl. Agus Salim atau Jl. Kabupaten atau dulu disebut Regentstraat. Malang yang dikuasai Pemerintah Kolonial Belanda membuat lima buah bioskop pertama, tidak ditemukan data yang valid tentang bioskop mana yang dibangun lebih dahulu, tetapi dari data di tahun 1937 sudah ada lima dengan empat di antaranya ada di Regentstraat yaitu Bioskop Grand, Bioskop Atrium, Bioskop Flora dan Bioskop Globe. Sementara satu bioskop lagi terletak di Klentengstraat (sekarang Jl. Laksamana Martadinata) yaitu Bioskop Emma.
Dari empat bioskop tersebut, konon kabarnya hanya Bioskop Atrium saja yang tidak bisa ditonton oleh penduduk Indonesia, bioskop tersebut dikhususkan untuk warga Belanda saja baik sipil atau militer. Jika bukan warga Belanda, maka penonton tersebut haruslah pasukan Bintara KNIL (Tentara Kerajaan Hindia Belanda) itupun harus menggunakan seragam tentara warna hijau
“Boeat kesenangan publiek di Malang ada 5 gedong bioscoop, antara 4 ada di Regentstraat, dan 1 ada di Klentengstraat,” tulis Majalah Liberty terbitan tahun 1939.
Dari penelitian ilmiah yang dilakukan oleh Mahasiswa Universitas Negeri Malang jurusan Sejarah, keberadaan bioskop sendiri tidak bisa dilepaskan dari perkembangan Kota Malang serta pembangunan yang dilakukan oleh gemeente Malang.
Bioskop pada mulanya adalah hiburan bagi kaum kulit putih di Kota Malang hingga pada akhirnya penduduk golongan Bumiputra juga menyukai menonton film di bioskop. Tahun 1942 adalah masa akhir dari bioskop itu karena di saat itu Belanda menyerah kepada Jepang.
Perilaku menonton hiburan ala Belanda ini menimbulkan kelompok golongan masyarakat priayi di Malang. Yaitu sebuah kelompok masyarakat Jawa yang menempati posisi tertentu di pemerintahan atau perusahaan Belanda, sehingga dulu begitu dihormati.
Masyarakat priayi inilah yang menjadi konsumen terbesar sebagai penonton bioskop ketika itu.
Dulu antara tahun 1920 hingga 1930, film di dunia masih menggunakan gerakan saja tanpa ada suara yang mendampinginya, kondisi itu juga terjadi di Malang. Para penonton hanya melihat gerakan-gerakan yang disajikan oleh para aktor.
Untuk memberikan efek pemahaman, di film-film tertentu digunakan subtitle yang muncul di film yang menceritakan adegan yang terjadi, biasanya menggunakan Bahasa Belanda atau Melayu.
Sementara untuk komedi, aktor dulu lebih sering memainkan pantomim terutama dilakukan oleh Charlie Chaplin (1989-1977), mirip cerita Mr. Bean sekarang yang jarang menggunakan dialog.
Chaplin adalah salah satu tokoh paling berpengaruh dan paling kreatif di era film bisu. Di dalam film-filmnya, Chaplin dikenal suka merangkap-rangkap, mulai dari peran utama, sutradara, penulis naskah, hingga pengisi ilustrasi musik – Kutipan Wikipedia
Sementara sebagai tambahan, pengelola bioskop kadang menyewa pemain musik yang memainkan alatnya saat ada adegan tertentu. Misalnya suasana tegang, suasana gembira, hingga lagu-lagu sedih.
Jika anda melihat acara yang menceritakan bioskop zaman dahulu, anda kadang bertanya kenapa gerakan pemain film tidak stabil. Hal ini terjadi karena pemutar film melakukannya secara manual alias tenaga manusia. Sehingga saat film disorot oleh proyektor kadang adegannya tidak stabil kecepatannya.
Baru kemudian di tahun 1931 film yang diputar di bioskop Malang sudah ada suaranya, di tahun itu pula film Melayu yang dibintangi oleh Mohammad Muchtar juga mulai hadir. (dirangkum dari berbagai sumber)