Isu sosial budaya di masyarakat pada dasarnya memang selalu menarik untuk dikaji. Apalagi kita semua tinggal di negara tercinta Republik Indonesia ini, tak jarang kita mendengar isu-isu sosial, budaya, dan politik. Berita tentang kemiskinan, penindasan, korupsi, bentrok antarumat beragama, rasanya selalu muncul di platform media cetak maupun digital.
Kasus-kasus di atas agaknya sulit menemukan titik temu dan solusi yang ampuh. Budaya musyawarah-mufakat bangsa Indonesia yang tertuang pada Pancasila sila keempat, budaya “yo opo enak e” seperti yang dulu sering kita dengar dan selalu dipegang oleh kebanyakan masyarakat Jawa Timur, terasa sudah tergantikan oleh pola pikir agresif, grudak-gruduk, sludar-sudur dan mengedepankan emosional dalam bertindak.
Bisa jadi hal tersebut memang perwujudan kekecewaan dan kemuakan kita karena tak pernah ditanggapi oleh mereka-mereka para pemangku kebijakan. Namun alangkah baiknya, jika setiap penyelesaian permasalahan diselesaikan dengan pikiran dingin dan solusi kreatif efektif. Bukankah kita manusia yang “katanya” memanusiakan manusia?.
Bicara tentang penyelesaian masalah dan solusi kreatif, kita lihat dan runut kembali tentang sejarah adanya sebuah seni jalanan atau biasa dikenal dengan “street art”. Dari tulisan Bojan Maric yang berjudul “The History of Street Art” pada majalah Widewalls, seni jalanan lahir dari ekpresi dan tanggapan kaum muda akan lingkungan sosial-politik di New York.
Awalnya, memang coretan-coretan karya anak-anak geng pada tahun 1920 hingga 1930-an, namun budaya subversif ini menjadi sangat berpengaruh di tahun 1970 hingga 1980-an. Vandalisme ruang dan fasilitas publik yang tak layak digunakan oleh masyarakat, kritikan-kritikan terhadap pemerintah korup dalam bentuk visual segera mendapat perhatian dan rasa hormat di dunia “dewasa” ini.
Tujuan mereka tetap satu. Ketika fasilitas publik tetap dikorupsi, ketika kebijakan telah dilanggar oleh pemangkunya, ketika suara-suara mereka atas dasar kemanusiaan tak kunjung didengar, mereka berkarya dan menorehkan semua ekspresinya di ruang publik dengan harapan masyarakat yang melihatnya terpantik, menyatukan pikiran dan bersatu melawan pemerintahan yang korup.
Kemudian kita balik lagi ke masa sekarang, tepatnya kita akan menyoroti satu kawasan yang sering disebut-sebut sebagai Bumi Arema, yakni Kota Malang.
Dalam empat bulan terakhir, suasana atau atmosfir yang ada di kota ini begitu kelam.
Visual di setiap sudut kota dibanjiri oleh grafiti, poster, atau spanduk-spanduk bertuliskan “USUT TUNTAS” yang merujuk pada Tragedi Kanjuruhan. Belum lagi proyek gorong-gorong dan penggantian paving jalan raya yang rasanya membuat beberapa dari kita berpikir “opo maneh seh iki?”.
Juga kemacetan jalanan kota yang terkadang kita sendiri dibuat bingung ketika kita sudah sampai di ujung jalan, ternyata tak terjadi apa-apa. Kesemuanya itu, sedikit banyak mengganggu “kewarasan” kita sebagai warga yang tinggal di Malang, dan tetap pada akhirnya kita semua berujung pada “pemakluman” (yo wes lah).
Seperti yang telah disinggung di atas, para seniman “jalanan” Malang merasa saat ini harus ada aksi baru yang harus diketahui banyak orang. Mereka berpendapat bahwa suatu peristiwa atau tragedi memilukan, bisa menjadi sebuah pemantik gerakan bersama. Dalam hal ini, salah satu pemantik paling besarnya ialah isu sosial dan pelanggaran HAM pada Tragedi Kanjuruhan.
Seperti yang diketahui, tragedi tersebut memantik kita semua untuk membicarakan lagi tentang kemanusiaan. Aksi-aksi yang diusung pasca tragedi pun bisa jadi merupakan sebuah bom waktu tentang keresahan akan kemiskinan, kerusakan lingkungan, kedengkian pada penguasa hipokrit yang telah lama disimpan oleh masyarakat. Kemudian meledak akibat isu kemanusiaan telah diinjak-injak oleh penguasa.
Baik suporter maupun masyarakat sipil, mereka bersama-sama menjelma menjadi gerakan sosial, gerakan mengkritik kebijakan-kebijakan represif, demo turun ke jalan dibarengi dengan pemasangan poster dan spanduk.
Ini terjadi secara organik hingga muncul sebagai fenomena visual Kota Malang. Bahasa simbolik dilayangkan di jalanan sebagai ungkapan kekecewaan masyarakat yang telah lama terpendam.
Semua itu oleh seniman-seniman Malang dirangkai menjadi satu aksi pameran seni yang bertajuk “Menyerang’ Kota” yang diselenggarakan di Dewan Kesenian Malang (DKM) pada 9-11 Januari 2023 ini.
Tentunya, konotasi “menyerang” yang dimaksud merupakan sebuah tempat refleksi kita untuk menyadarkan pola pikir masyarakat dan kembali lagi ke budaya musyawarah-mufakat dalam penyelesaian suatu masalah. Jalan kekerasan atau tindakan represif kepada pihak yang sama-sama merasa benar bukan satu-satunya alat untuk menyudahi sebuah konflik.
Sudah selayaknya kita sebagai warga yang tinggal di Kota Malang ini kembali lagi pada pola pikir cerdas selayaknya kota pendidikan dengan banyak Perguruan Tinggi, serta mengedepankan penyelesaian masalah dengan kepala dingin, sedingin udara Malang ketika fajar mulai tampak.
Ditulis Oleh: Muhammad Yunus