Pernahkah Anda berpikir bagaimana sistem pendidikan atau jalur sekolah saat pmerintahan Belanda? Konon, pada masa ini, sekolah yang berjalan tergolong rasis. Pasalnya, mereka membedakan murid berdasarkan keturunannya. Contoh praktik rasis ini ada pada tingkah sekolah paling dasar yang terbagi menjadi dua, HIS (Hollandsche Inlandsche School) dan ELS (Europesche Lager School).
Kedua sekolah tersebut memiliki jalur yang berbeda. Bagi anak-anak pribumi atau dengan orang tua yang bergaji 100 gulden sebulan, maka bisa bersekolah di HIS. Sedangkan anak pribumi priyayi atau anak pembesar dan pejabat bisa bersekolah di ELS. Sedikit gambaran, HIS termasuk sekolah yang “biasa”. Berbeda dengan ELS, sekolah yang peruntukannya bagi keturunan Belanda dan warga kulit putih lainnya.
Sekolah Malang
Kota Malang yang menjadi kota sendiri pada tahun 1914 awalnya punya tiga sekolah ELS dan tiga sekolah HIS, kemudian bertambah banyak seiring dengan perkembangan pesat Kota Malang.
Dua jenis sekolah ini menggunakan bahasa pengantar Belanda. Mereka sama-sama belajar selama tujuh tahun. Meskipun menggunakan bahasa Belanda sebagai pengantar, pemerintah Hindia Belanda tidak mewajibkan warganya bisa menggunakan bahasa tersebut.
Menjadi murid HIS, siswa akan bertemu dengan anak-anak Indonesia. Tetapi jika sekolah di ELS, jika itu adalah anak Indonesia, maka dipastikan akan menjadi minoritas. Bukan tanpa alasan, sebab pada saat itu tidak banyak golongan priyanyi ataupun anak pembesar jika berbanding dengan anak keturunan Belanda atau warga Eropa lain.
HIS, ELS dan Minoritas
Sebagai minoritas, anak-anak Indonesia yang ‘beruntung’ bisa bersekolah ELS harus patuh dan hormat kepada orang Belanda meskipun mendapatkan perlakukan yang terkadang tidak mengenakan. Pada masa itu, warga pribumi mendapatkan sebutan inlander, sebuah strata sosial yang tergolong rendah.
Perlakuan-perlakuan tersebut tak jauh berbeda antara dalam sekolah atau luar sekolah. Warga pribumi tidak bebas menikmati hiburan pada gedung societeit (sekarang Sarinah) yang menjadi tempat hiburan seperti dansa, bilyard dan lain sebagainya. Termasuk pula beberapa Bioskop Malang yang tidak bebas untuk sembarang orang.
Selanjutnya, lulusan HIS langsung melanjutkan ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) atau setingkat dengan SMP sekarang. Dari MULO selama tiga tahun belajar untuk kemudian berlanjut ke Algemeene Middelbare School (AMS) alias SMA selama tiga tahun. Setelah itu baru bisa kuliah.
Di sisi lain, lulusan ELS kebanyakan langsung masuk sekolah HBS (Hoogere Burger School), agak berbeda dengan MULO, HBS ini menggunakan sistem pendidikan selama lima tahun seperti tingkat SMP dan SMAnya sudah menjadi satu paket. Sehingga jika anak pribumi melakukan sekolah selama 13 tahun sampai dia kuliah, maka anak-anak Belanda sekolah dengan durasi 12 tahun saja.
Sekolah Belanda: AMS dan HBS
Malang sendiri baru memiliki AMS dan HBS pada tahun 1927, kemudian juga ada sekolah kejuruan dengan nama Ambachtleergang yang baru buka pada tahun 1929.
Sistem pendidikan tersebut tentunya ada maksud, karena untuk anak pribumi yang mulai masuk dunia kerja, mereka akan tertinggal satu tahun. Termasuk sekolah lanjutan seperti militer yang punya usia maksimal untuk masuk. Tidak jarang, beberapa pahlawan Indonesia sempat memudakan usianya agar mudah mendaftar sekolah lanjutan.
Jenjang Kuliah
Untuk kuliah, hanya ada Universitas di Belanda saja. Sementara saat itu Indonesia hanya ada sekolah tinggi seperti School tot Opleiding van Indische Artsen (STOVIA) yang terkenal sebagai Sekolah Dokter dan lain sebagainya.
Sementara jika tidak kuliah, sudah banyak sekali perusahaan Belanda yang menerima atau membuka lowongan pekerjaan. Jangankan HBS atau AMS, yang lulusan MULO atau ELS dan HIS juga sudah bisa bekerja dalam kantor, bukan pekerja kasar. Hal ini terjadi karena pada masa itu tidak banyak orang Indonesia yang melek pendidikan.
Catatan:
Jalur-jalur sekolah tersebut adalah jalur umum yang ada dalam masyarakat. Saat pemerintahan Belanda, ada pula beberapa sekolah yang bukan HIS atau ELS. Sekolah tersebut adalah Hollandsch Chinese School (HCS) untuk anak etnis Tiongkok, Volkschool (sekolah rakyat), sekolah dari organisasi Muhammadiyah, dan sebagainya. Pada sekolah ini, pada umumnya siswa belajar membaca, menulis, berhitung.