Kompleks bangunan SMA Tugu Malang, selain terkenal dengan cerita mistisnya, ternyata juga menyimpan sekelumit sejarah yang terkait perkembangan kota Malang. Kompleks sekolah yang terdiri dari SMA Negeri 1, SMA Negeri 3 dan SMA Negeri 4 Malang itu menjadi bagian dari sejarah zaman pendudukan kolonial Belanda di Indonesia.
Dulunya, kompleks sekolah ini diberi nama HBS dan AMS. Gedung sekolah ini dibangun pada tahun 1931 di dekat kawasan Alun-alun Bunder (sekarang Alun-alun Tugu). HBS (Hoogere Burger School) adalah Sekolah Tinggai Warga Negara atau Sekolah Menengah untuk Belanda, sementara AMS (Algemeene Middlebare School) adalah Sekolah Mengengah untuk Umum.
Pembangunan gedung kompleks sekolah ini diarsiteki oleh Ir. W. Lemei dari Landsegebouwendienst (Jawatan Gedung Negara). untuk berkarya. Pemilihan lokasi dan awal pembangunannya juga cukup strategis karena dirancang di lokasi yang kala itu direncanakan bakal menjadi pusat pemerintahan Kota Malang.
Gedung kompleks sekolah ini dibangun bersamaan dengan pembangunan gedung Balai Kota Malang. Namun, untuk menimbulkan kesan monumental pada gedung tempat penguasa Kota Malang itu, gedung sekolah ini dibuat sesederhana mungkin. Bangunannya sengaja dibuat satu lantai dan disainnya dibuat dengan karakter villa, agar tigginya tidak menyaingi kemegahan gedung Balai Kota.
Kala itu, Lemei sebagai arsitek mendapat tantangan khusus, lantaran area yang akan dibangun gedung kompleks sekolah ini tidak simetris, lantaran berada di kawasan alun-alun yang berbentuk bundar. Untuk membuat gedung sekolah yang nantinya berbentuk simetris, sang arsitek dituntut memiliki sebuah pemikiran yang cukup rumit.
Meski demikian, tidak semua bangunan di kompleks sekolah ini terdiri dari satu lantai. Tujuan tidak menyaingi ketinggian Balai Kota Malang rupanya tak menghalangi Lemei untuk mengkombinasikan gedung berlantai dua di dalam bangunan karyanya tersebut.
Lemei sengaja membangun gedung besar terdiri dari satu lantau yang terletak di tengah kompleks bangunan. Fungsinya sebagai tempat olahraga (Gymnasium) dan aula yang bisa dipakai bersama-sama HBS dan AMS. Di bagian ini terdapat juga ruang-ruang yang bersifat umum, seperti ruang guru, ruang direktur, perpustakaan, dan ruang baca.
Ruangan semacam aula ini sifatnya fleksibel, karena sekat-sekat ruangannya terbuat dari partisi semi permanen, sehingga mudah untuk dipindahkan. Di kemudian hari, sistem penataan yang open plan seperti ini menjadi ciri khas arsitek beraliran modern.
Sementara untuk bangunan kelas, ruang gambar, laboratorium, kamar mandi/WC yang bersifat lebih privasi diletakkan di bangunan berlantai dua yang ada dibelakangnya. Tembok setinggi 2 meter atau yang dikenal dengan nama lambrisering dipasang untuk membatasi ruang guru dengan ruang kelas. Pemasangan ini tujuannya untuk menempelkan gambar atau pengumuman lain agar memudahkan para siswa melihatnya.
Seluruh bangunan kompleks sekolah kuno ini disatukan dengan keberadaan gallery yang menghubungkan semua bangunan. Gallery ini juga berfungsi sebagai penyaring sinar matahari dari arah timur dan barat bangunan. Rancangan tata letak yang demikian ini membuat kompleks sekolah ini memiliki halaman yang cukup luas di antara kompleks gedung. Halaman ini lalu dikelola menjadi taman-taman indah yang memiliki nilai estetika tersendiri bagi bangunan utama.
Tata letak banguan Sekolah HBS/AMS yang menempatkan taman di tengah-tengah kompleks bangunan dipercaya menjadi perintis tata letak yang menyerupainya yang dipakai di sekolah-sekolah di Malang hingga kini. Selain indah, taman di dalam kompleks ini juga berfungsi sebagai cerobong udara yang senantiasa siap mengalirkan udara agar suasana di dalam ruangan-ruangan kelas tetap nyaman bagi para siswanya.
Gallery yang menghubungkan seluruh bangunan di lantai satu memakai konstruksi dinding pemikul dengan bukan berbetuk busur lancip yang menjadi ciri khas gereja Gothic. Fakta ini membuat bangunan sekolah ini tampak berbeda dengan sekolah-sekolah katolik yang didirikan sebelumnya di Malang, seperti Zusterschool dan Fraterschool.
Bentuk bangunan kompleks sekolah yang bergaya villa ini lebih mirip dengan rumah-rumah di Jalan Ijen yang menjadi permukiman untuk para pengusaha perkebunan Belanda. Atapnya berbentuk sudut dengan kemiringan yang tajam, sehingga citra bangunan tropis muncul begitu kuat. Semua bangunan di kompleks sekolah ini beratap pelana, kecuali pada bangunan berlantai satu yang berada di tengah yang memiliki atap pelana tumpuk. Bentuk atap seperti ini membuat gedung-gedung di kompleks sekolah ini tidak terkesan monumental.
Material yang digunakan pada atap datar tempat untuk parkir sepeda terbuat dari sirap kayu besi. Lemei sang arsitek mengadopsinya dari American Sheet and tin plate Company. Lemei juga bermain komposisi warna pada tangga yang dicat merah kecoklatan, sementara kayu pada tempat sepeda diberi warna coklat dan oranye gelap yang berpadu dengan warna biru tua pada talang, lalu dinding berplester diwarnai putih.
Perpaduan warna ini sekaligus menjadi bukti bahwa Belanda sangat serius merancang suasana sekolah agar nyaman bagi para siswa. Mungkin Anda yang pernah atau sedang menimba ilmu di SMAN 1, SMAN 3 atau SMAN 4 Malang dapat merasakan sendiri betapa bersejarahnya warisan Belanda tersebut.