Prasasti Ranu Kumbolo, sebuah batu andesit di pendakian Gunung Semeru. Prasasti ini bertuliskan sebuah kalimat berbahasa Jawa Kuno (Sanskerta) yang awalnya dibaca ‘Ling dewa mpu Kameswara tirthayatra’. Seorang Professor Arkeologi, Ismail Lutfi, membeberkan tafsir baru tulisan aksara yang tertulis pada Prasasti Ranu Kumbolo ini. Melalui kanal YouTube Perkumpulan Ahli Epigrafi Indonesia, beliau menggunakan cara yang berbeda dalam membaca askaranya, menjadi ‘7441 Mpu Kameswara Tirthayatra’. Apa artinya?
Aksara Prasasti Ranu Kumbolo
Awalnya, pembacaan kalimat pada prasasti Ranu Kumbolo yakni “Ling dewa mpu kameswara tirthayatra” dan ada yang meembacanya tanpa “ling dewa”. Namun pada awal Juli 2021 lalu, Ismail Lutfi mengemukakan cara membaca baru, yang mana tulisan pada prasasti ini menjadi ‘7441 Mpu Kameswara Tirthayatra’.
Aksara ini ditulis dengan huruf bergaya Jawa Tengah yang lazim disebut sebagai Aksara Gunung atau Buda. Aksara buda, menunjukkan masa yang kuno sekali. Secara Paleografis, aksara ini menunjukkan sebuah kebiasaan yang digunakan pada abad ke-15 dan awal 16 Masehi. Selain itu, aksara ini biasa digunakan oleh pelaku kadewaguruan dan mandala, dan bukan berasal dari kalangan kerajaan atau keraton.
Tafsir ini diperkuat dengan bukti bahwa prasasti Ranu Kumbolo ditemukan di Gunung Semeru, sebuah tempat tinggal yang jauh dari pusat pemerintahan, cocok dengan lelaku kadewaguruan. Maka hal ini mendukung cara membaca aksara prasasti yang bahwa awal kalimatnya ditulis menggunakan angka yang satuannya ditulis terlebih dahulu. Jika dalam Prasasti tertulis angka 7441, maka jika dibalik menjadi 1447 Saka atau sekitar 1525 Masehi.
Mpu Kameswara
Awalnya, beberapa sejarawan berpendapat bahwa kata ‘Mpu Kameswara’ dalam prasasti ini merujuk pada Raja Kediri. Namun ‘Mpu’ tidak biasa digunakan untuk merujuk raja yang biasanya menggunakan gelar sri atau maha raja. Mpu Kameswara sering muncul pada prasasti di masa Kadiri maupun Majapahit sebagai pembesar atau pejabat pada masa itu. Maka Mpu Kameswara kemudian diartikan sebagai rohaniawan, seseorang yang melakukan perjalanan suci dalam rangka menuju kesempurnaan hidup sesuai dengan ajarannya.
Tirthayatra
Kata tirthayatra berasal dari kata tirtha dan yatra. Titha merupakan air sakral, berbeda dengan banyu yang berarti air biasa. Yatra berarti perjalanan spiritual. Sehingga tirthayatra berarti sebuah perjalanan spiritual menuju air yang sakral. Air yang sakral dalam prasasti ini merujuk pada Ranu Kumbolo, sebuah danau air tawar yang berlokasi di kaki gunung Semeru, yaitu di Lumajang, Jawa Timur. Danau ini berada tepat di belakang prasasti.
Tafsir Baru Prasasti Ranu Kumbolo
Menurut Ismail Lutfi, ritual Tirthayatra kemungkinan memiliki syarat untuk menyebrangi sebuah tempat air, baik danau, sungai, atau samudra sebagai syarat menuju kesempurnaan hidup. Namun hal ini masih membutuhkan penelitian lebih lanjut.
Maka dengan tafsir baru, Aksara dalam Prasasti Ranu Kumbolo menceritakan Mpu Kameswara yang melakukan suatu ritual bernama tirthayatra pada tahun Saka 1447. Ritual ini merupakan salah satu rangkaian langkah hidup wanaprastha untuk bisa memasuki tahap akhir kesempurnaan yang disebut dengan sanyasin atau biksuka.
Dalam konteks ini, keberadaan prasasti yang dekat dengan Ranu Kumbolo sebagai unsur air (tirtha) dalam ritual tirthayatra. Jika diartikan lebih lanjut, ritual tirthayatra adalah sebuah ritual penyucian diri dengan “menyebrang” ke tempat lain.
Baca juga: Pendidikan Jawa Kuno, Kadewaguruan
Subscribe channel Youtube kami, ikuti kami di Instagram dan gabunglah bersama kami di Facebook untuk menjadi bagian dari komunitas kami.