Ada banyak tradisi Jawa untuk menyambut bayi yang baru lahir ke dunia. Salah satunya adalah tradisi mengubur ari-ari yang masih kental di Malang Raya.
Tradisi mengubur ari-ari ini bisa dibilang sebagai upacara pertama yang dilakukan orang tua yang anaknya baru lahir. Umumnya, tradisi ini dilakukan oleh sang bapak dari bayi yang memiliki ari-ari yang dikubur tersebut.
Rangkaian upacara ini dilakukan sebagai wujud rasa syukur kepada Tuhan
Yang Maha Esa dengan hadirnya anugerah berupa anggota keluarga baru yang terlahir.
Selain itu, upacara adat Jawa ini juga dimaksudkan sebagai salah satu cara untuk mendoakan si jabang bayi dan seluruh keluarga. Harapannya semuanya diberikan kesehatan, keselamatan, dan kesejahteraan.
Bagaimana Cara Mengubur Ari-ari Bayi Baru Lahir
Ari-ari merupakan sebutan lain untuk plasenta, atau dalam Bahasa Jawa dikenal pula dengan sebutan among/dulur. Biasanya, ari-ari keluar setelah bayi keluar dari rahim sang ibu, lalu harus dikuburkan.
Dalam rahim, ari-ari ini memiliki empat fungsi, yakni mengirimkan gizi dan oksigen dari darah ibu pada janin, membawa karbondioksida dan sisa pembuangan janin kembali ke darah ibu, membentuk pertahanan untuk infeksi dari obat-obatan tertentu, dan mengeluarkan hormon terutama human chorionic gonadotrophin (HCG), progesteron dan oestrogen.
Sementara, bagi orang Jawa, ari-ari ini dianggap sebagai batur/teman bayi sejak di dalam kandungan. Memang, sejak bayi keluar dari rahim, tugas ari-ari berakhir, tetapi organ ini harus dirawat dengan cara ditanam agar tidak membusuk atau dimakan binatang.
Yang pertama dilakukan, ari-ari ditempatkan dalam sebuah gendok (semacam kendi), dengan alas daun talas. Alas ini mempunyai simbol agar sang anak kelak tumbuh tidak hanya memikirkan hal duniawi saja.
Mendhem gendok berisi ari-ari ini dilakukan di lubang yang dibuat di dekat pintu utama rumah yang ditinggali. Untuk anak laki-laki di sebelah kanan pintu, sedangkan anak perempuan di sebelah kirinya.
Tanah paling atas tempat mengubur ari-ari itu diberi kembang layaknya tradisi nyekar, lalu ditutupi daun pisang. Biasanya, di sekelilingnya diberi pagar bambu, atau sekarang orang-orang kerap menggunakan tempat sampah plastik sebagai pelindung di atasnya.
Jangan lupa beri penerangan berupa lampu secukupnya yang harus dinyalakan ketika hari mulai gelap. Kalau zaman dahulu biasanya yang digunakan adalah lampu minyak/oblek. Penerangan ini digunakan selama 35 hari sampai prosesi selapan digelar.
Banyak tradisi Jawa lainnya yang masih terasa kental di Malang Raya. BACA: Inilah tradisi kembul dungo yang ada di Malang