Kanjuruhan Disaster 2: Studi Amnesty International Sebut Gas Air Mata Bisa Mematikan

- Advertisement -

Sebuah penelitian dari Amnesty International menyatakan gas air mata bisa mematikan mereka yang menghirupnya. Tentu saja hal ini berbanding terbalik dengan pernyataan Kadiv Humas Polri, Irjen Dedi Prasetyo dalam kasus Kanjuruhan Disaster 2.

Tragedi ini terjadi usai laga Arema vs Persebaya Surabaya di Liga 1 2022-2023 Pekan 11, Sabtu (1/10/2022) malam. Setidaknya 132 nyawa melayang dan ratusan lainnya luka-luka akibat kepanikan luar biasa karena adanya tembakan gas air mata ke tribune.

Dikutip dari Tempo, Irjen Dedi sempat mengakui jika ada beberapa gas air mata kedaluarsa yang ditembakkan saat tragedi itu terjadi di Stadion Kanjuruhan. Namun, pihaknya mengklaim kematian para korban bukan karena gas air mata.

Menurutnya, dari penjelasan para ahli dan dokter spesialis yang menangani para korban, diketahui tidak ada korban yang meninggal karena gas air mata. Kematian mereka diklaim akibat kehabisan oksigen karena berdesak-desakan.

“Tidak satu pun yang menyebutkan bahwa penyebab kematian adalah gas air mata, tapi penyebab kematian adalah kekurangan oksigen. Karena apa? Terjadi desak-desakan, terinjak-injak, bertumpuk-bertumpukkan mengakibatkan kekurangan oksigen di pintu 13, pintu 11, pintu 14, dan pintu 3. Ini yang jadi korbannya cukup banyak,” kata Irjen Dedi.

Studi Amnesty International Sebut Gas Air Mata Bisa Menjadi “Pembunuh”

Studi Amnesty International menyebut gas air mata bisa menjadi “pembunuh” massal, tak terkecuali dalam kasus Kanjuruhan Disaster 2. Dalam studi-nya, mereka menyebut ada kemungkinan penggunaan gas air mata bisa berakibat kematian.

Efek kematian itu bisa saja terjadi pada korban jika gas air mata tidak digunakan secara tepat. Peneliti dari Universitas California, Barkeley, Rohini Haar, dalam studi Amnesty itu sudah membuktikannya.

“Gas air mata yang terhirup ke dalam mulut dan hidung seseorang bisa mengakibatkan kematian. Pasalnya, kandungan dalam gas tersebut bisa merusak membran dalam paru-paru,” tulisnya dalam Studi Amnesty International.

Terlebih, dalam banyak kasus, menurut studi tersebut, efek gas air mata mulai terasa dalam 10 hingga 20 menit. Namun, efek dan dampaknya akan berbeda-beda dirasakan oleh tiap korban.

Celakanya, anak-anak, perempuan hamil, dan lansia lebih rentan terhadap efeknya. Tak heran jika di tribune selatan yang paling banyak ditembaki gas air mata waktu itu ada banyak anak-anak dan perempuan yang menjadi korban.

Tingkat Keracunan Gas Air Mata Berbeda-beda

Selain itu, Studi Amnesty International juga mengungkapkan bahwa tingkat keracunan gas air mata tiap orang bisa berbeda-beda pula. Hal itu ditentukan oleh spesifikasi produk gas air mata yang dipakai.

Sementara, dari pernyataan Kadiv Humas Polri, saat tragedi kemarin ada tiga jenis gas air mata yang dipakai. Ada peluru berwarna hijau, biru, dan merah, yang kandungan dan fungsinya berbeda-beda.

Peluru berwarna hijau, hanya menyebarkan asap putih, sedangkan peluru berwarna biru memiliki kadar gas air mata yang sifatnya sedang. Sementara, peluru yang merah untuk mengurai massa dalam jumlah besar.

“Tingkat keracunannya bergantung dari spesifikasi produk, kuantitas yang digunakan, dan lingkungan di mana gas air mata ditembakkan. Kontak dalam jangka waktu lama dapat menimbulkan beberapa risiko kesehatan hingga kematian,” tulis Studi Amnesty International.

Subscribe channel Youtube kami, ikuti kami di Instagram dan gabunglah bersama kami di Facebook untuk menjadi bagian dari komunitas Arema dan Aremania.

Artikel Lainnya